Aku mencengkeram lengan duduk pesawat dengan keras. Butiran keringat sudah mulai bercucuran di dahiku. AC pesawat tidak bisa meredam lembab yang dikeluarkan oleh tubuhku karena respon berlebihan ini. Ah, seharusnya aku sudah tahu ini akan terjadi. Aku yakin, seseorang di sebelahku kini tengah memandang ku dengan heran. Sama seperti respon orang kebanyakan karena reaksi abnormalku.
Aku mengingat apa yang dipesankan oleh Nenek Rose. Kendali pikiran. Ya, itulah yang dia katakan setiap kekuatanku ini kumat. Aku mulai menarik nafas dalam-dalam. Mengalirkan oksigen ke seluruh tubuhku. Meditasi dalam diam. Lagu-lagu favorit ku mendendangkan melodinya jauh dalam tempurung otakku. Aku memikirkan sebuah tempat damai dimana kubah langit biru melengkung dan bunga matahari menari. Sepertinya aku mulai bisa membayangkan tempat itu. Aku bisa mencium aroma yang sebenarnya hanya buatan oleh alam bawah sadarku.
Perlahan, kabut hitam itu mulai tersibak. Pikiran-pikiran aneh itu mulai memudar. AC pesawat kembali bekerja pada pori-pori tubuhku. Tak ada lagi bunyi teriakan dalam otak reptilku. Tak ada lagi teriakan minta tolong. Aku membuka mataku lalu menoleh ke samping, tempat seorang remaja ibu paruh baya memandangku aneh. Yang bisa ku berikan hanya senyum datar...
Ya, aku memang abnormal. Kekuatan mistik jika dihubungkan dengan dunia klenik. Tapi, nenek ku sekaligus mentorku mengatakan aku bukanlah manusia gaib yang bisa melihat tembus pandang ataupun melihat hal-hal aneh. Kekuatan ini alami, begitu kata dia. Yah, aku tidak bisa melihat kealamian ketika bisa membaca pikiran orang lain, memasuki mimpi orang lain, melihat masa depan, atau bahkan melihat sesuatu yang bahkan bukan seorang manusia. Orang pertama yang ku baca pikirannya adalah sahabatku, Jingga. Entahlah, rasanya seperti beberapa truk lewat di depan rumahmu. Bergemuruh. Tapi itu bukan pikiranku. Dan, Jingga terus penasaran serta terus mendesakku. Anehnya, saat dia menanyakan siapa yang tengah dipikirkannya kini, aku selalu benar. Sejak saat itu, aku merasa otakku bukanlah milikku lagi. Seakan otakku hanyalah podium besar dimana puluhan orang singgah untuk menggunakannya.
Beberapa hari setelah itu, Nenek Rose mengunjungi rumahku. Anehnya, dia tidak ingin menemui ibuku. Justru dia mengajakku ke sebuah kamar yang ada di rumahku. Lebih aneh lagi, karena sebelumnya, kamar itu termasuk lokasi terlarang di rumahku. Ibu mengatakan kamar itu akan terbuka dengan sendirinya saat takdir telah menemukan Dia. Aku mengira itu hanyalah dongeng karangan Ibu. Sampai pada hari itu....
Ya, kamar itu adalah milik Nenek Rose dulu. Dia menceritakan padaku semuanya. Bahwa aku mewarisi kekuatannya. Dan aku harus menemukan misiku agar kekuatan ini tidak sia-sia. Untuk seorang remaja yang baru berumur 16 tahun kala itu, tentu saja aku bingung dan tidak percaya. Namun, lagi-lagi fakta yang diberikan Nenek Rose membuatku bungkam. Contohnya, Jingga. Setiap ada hal buruk yang terjadi padanya, aku lah yang selalu ada disana. Apapun yang dia pikirkan, seakan aku telah mengetahuinya satu detik sebelum dia mengatakannya. Jingga yang pikirannya hanya dipenuhi oleh logika dan logika tunduk patuh begitu aku mengajukan teori mistis yang selama ini disangkalnya. Itulah kekuatanku. Bisik Nenek Rose.
Sejak itulah, aku mengasah kemampuanku dan cara mengendalikannya. Seperti tadi, tiba-tiba saja berjuta pikiran melesak ke dalam kepalaku. Teriakan minta tolong. Jerit kegembiraan. Desah kepuasan. Semuanya tidak cukup untuk ditampung dalam otak sekecil punyaku. Itulah gunanya meditasi. Untunglah, kali ini aku berhasil..
Sepertinya, aku butuh tidur...
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumpah, koper yang ku seret ini pasti menandingi berat seekor kingkong. Bandara Soekarno-Hatta yang panas benar-benar membuat cuaca hari ini sempurna. Kalau saja tidak teringat dengan misi ku seperti yang disebut-sebut oleh Nenek Rose, aku tidak sudi berdesak-desakan disini, demi orang lain pula.
Nenek Rose mengatakan, bukan kita yang menentukan misi itu. Tapi misilah yang menentukan kita. Dan, misi yang memilihku kali ini cukup bombastis kalau tidak bisa dibilang gila. Misi pertama yang membuatku ingin menepuk pipiku dengan keras, siapa tahu ini mimpi, kan?
Sebagai intro, mari ku perkenalkan kalian dengan duniaku. Aku dan Jingga adalah para K-Pop. Namun, idola kami jauh berseberangan. Jika aku adalah ELF dan Cassie, maka dia adalah penggemar produk yang masih fresh, Shawol. Sebagai Cassie, tentunya aku tidak setuju dengan berpisahnya 5 jagoanku itu. Maka, malam saat aku membaca pikiran Jingga untuk pertama kali, malam itu jualah aku bisa melihat emosi tersembunyi dari Yunho, Jaejoong, Xiah, Yoochun, dan Changmin. Ada sesuatu yang aneh di mata mereka. Bahkan, aku bisa merasakan emosi mereka. Ya, bukankah sudah ku katakan bahwa aku ini abnormal? Singkat cerita, aku tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh Cassie yang lain. Lalu, keyakinan itu menelusup pelan dalam diriku. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya. Mungkin seperti belitan ular. Mengendap. Halus. Membius. Namun pasti. Aku tahu, hanya tahu, bahwa inilah jawaban aku memiliki kekuatan ini. Untuk menyelamatkan mereka. Dari apa..? Jangan ditanya, aku pun sudah cukup frustasi mencari jawabannya.
Misi yang akan memilihku. Itulah hal yang ku ingat saat Om ku menyerahkan tiket PP ke Jakarta plus tiket konser JYJ. Tidak tanggung-tanggung VIP A. Om ku mengatakan bahwa travel yang digunakan JYJ adalah travel pusat dimana Om ku sebagai manajer di travel cabangnya. Ya, takdir telah menentukan jalannya sendiri untukku.
Maka, disinilah aku. Seorang remaja polos tanpa bekal sama sekali di belantara Jakarta dengan kekuatan abnormal untuk menyelamatkan pujaan gadis di seluruh dunia.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pernahkah kalian merasa mengenali sesuatu jauh disana namun kalian tak tahu apa? Aku merasakannya kali ini. Aku mengenali gelombang pikiran ini. Tidak seperti pikiran lain yang asing dalam alam bawah sadarku. Pikiran ini, sangat ku kenal. Seperti teman lama. Lautan orang yang ada di bandara tidak menyurutkan keinginanku untuk mengenali pikiran ini. Entahlah, aku juga tak mengerti. Seingatku, hari dimana aku tiba saat ini juga merupakan hari kedatangan JYJ ke Jakarta. Mungkinkah, ini mereka? Apakah, aku benar-benar akrab dengan pikiran mereka? Aku tidak mengerti.
Aku bisa merasakan pikiran itu mendekat. Gelombangnya semakin kuat. Membelai seperti anak kecil. Aku tahu pikiran siapa ini. Tapi, apakah itu mungkin?
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
YOOCHUN POV
Aku memandangnya sedari tadi. Gadis yang tengah memelototi gerai pernak-pernik dari Kalimantan. Kenapa aku tahu? Tentu saja karena aku memang terobsesi untuk pergi kesana. Mungkin itulah daya tariknya.
Dia memakai jaket kulit berwarna hitam dengan topi rajut berwarna merah. Rambut coklat bergelombangnya dibiarkan tergerai begitu saja. Aku yang biasanya bahkan tidak sempat untuk melihat orang-orang disekelilingku, terbius olehnya. Aku tidak memperdulikan lagi rombonganku yang telah meninggalkanku. Tak ada yang penting bagiku sekarang, aku hanya ingin menemuinya. Sekedar melihat mukanya lebih dekat. Dan menyimpannya sebagai memori indahku. Karena siapapun dia, dia terlihat begitu memikat.
Tapi, bagaimana jika ternyata dia adalah seorang Cassie, seorang Cassie akut seperti mereka yang berada di Korea? Bagaimana jika ternyata dia mengenali ku? Sesaat, aku ragu. Pada saat itulah dia berbalik dan menatapku.......
Pernahkah kalian mendengar bahwa saat kita bertemu dengan Dia, dengan Dia yang kita cari-cari, waktu akan berhenti? Kebisingan akan memudar? Hatimu mendendangkan harmoni indah dengan ritme yang membuatmu terlena? Ya, itulah yang kurasakan saat ku melihatnya. Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi selain begitu cantiknya dia. Aku tidak pernah merasa seperti ini. Sungguh, siapa dia....?
Tubuhku seperti bertindak lebih jujur daripada pikiranku. Tubuhku mengambil alih pikiranku yang telah membeku. Aku berjalan ke arahnya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oh Ya Tuhan, benar dugaanku. Pikiran itu, milik Yoochun. Begitu aku berbalik, dia tengah memandangku. Tidak, dia tidak boleh tahu bahwa aku seorang Cassie dengan misi ganda, bertemu dengan mereka sekaligus membebaskan mereka. Maka, aku hanya mematung disini. Padahal, sedari tadi, emosi ku benar-benar ingin berteriak karena dipandang dengan tatapan Apollo oleh seorang Yoochun.
Dia berjalan ke arahku. Dia mendekatiku. Dalam jarak dua meter, aku sudah bisa mencium aroma tubuhnya. Campuran mint dengan citrus. Seperti aroma tanah setelah hujan reda. Membiusku. Sial, mengapa aku tidak bisa berbalik?
"Hi, do u know something about that painting?" Yoochun. Sekarang. Berbicara. Pada. Ku. Dengan. Matanya. Dia. Memandangku. Aku. Benar. Benar. Akan. Pingsan.
"Umm, yes, so far, I know that is the forest in my hometown." Sungguh, aku ingin sujud syukur sekarang. Otakku bisa diajak bekerja sama. Bukannya sama membeku dengan emosiku kali ini.
"You're from Kalimantan?" Pandangan Yoochun yang awalnya terpaku pada lukisan hutan itu beralih padaku. Gila. Para Cassie mungkin akan membunuhku jika mereka tahu hal ini.
"Yes. I am. In Banjarmasi. Not in equatorial line. Thanks God for that." Aku memberikan senyum ku. Senyum paling manis yang pernah ku tahu.
"Why? I heard that the nature in equatorial line is great. It would be better if u lived there. Maybe I'll be glad to visit you." Hah? Apa? Itu, Yoochun godain aku? Oh Tuhan. Aku butuh nafas buatan
"Yeah. But, it is so hot. Moreover, I really want the snow come in Indonesia. Jadi, ku pikir akan aneh jika aku tinggal disana dan mengharapkan salju." Lidahku berbicara dengan mulus dan lancar.
"Hahaha. There is snow in my hometown. Maybe you will like to stay there." Yoochun tertawa. Dia tertawa denganku. Nenek Rose benar. Inilah misiku. Takdir menunjukkan kekuatannya. Takdir telah bicara. Yang harus ku lakukan, hanya mengikuti arus tanpa melawannya.
"Thank you for offering it to me. Haha. But, no thanks. I won't stay in your country with no guarantee." Aku tertawa. Mengimbangi tawanya. Satu-satunya yang ku harapkan kali ini hanya semoga suaraku semerdu tawa Tiffany.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
YOOCHUN POV
Ya Tuhan, suaranya benar-benar merdu. Semerdu gemericik air yang sering ku bayangkan. Semerdu suara tawa Dewi di kahyangan sana. Semerdu suara lonceng di rumahku. Ya, suaranya terdengar seperti rumah. Aku telah jatuh cinta. Semudah ini? Mungkin. Aku tidak ingin memikirkannya. Aku tidak ingin melewatkan satu detik pun untuk memikirkan hal selain dia.
Matanya berwarna coklat. Coklat terang. Aku yakin, matanya adalah bagian yang pertama kali diperhatikan saat seseorang bertemu dengannya. Matanya seakan mengucap ribuan kata dalam waktu satu detik. Seperti permukaan air. Berubah-rubah sesuai gejolak alam yang ada. Sesuai pantulan bayangan yang tercipta. Hidungnya mungil seperti gadis Asia pada umumnya. Tidak seperti gadis Korea yang telah dicekcoki berbagai macam operasi pemolesan wajah. Bibirnya merah penuh. Sangat menggoda. Seperti apel merah ranum yang sering ku nikmati. Kulitnya putih. Dan dia mungkin 10 cm di bawahku. Ya, dialah orangnya...
Tapi, ritual memandangi wajahnya tiba-tiba terputus dengan suara berisik di belakangku. Aku melihat dia terkejut. Aku masih linglung. Butuh 10 detik untuk mencerna keadaan yang berbalik 180 derajat ini.
"Yoochun oppa? Is that really you?" Bodohnya aku. Kenapa tidak terpikir kemungkinan tentang banyaknya Cassie yang berkeliaran di bandara ini.
Aku menatapnya sekali lagi dan mengatakan 'Sorry' tanpa suara. Sepertinya dia mengerti dengan senyum dan anggukannya. Apakah dia mengenaliku sebagai JYJ, atau sebagai TVXQ, atau sebagai artis Korea. Ah, aku tidak peduli. Aku hanya ingin dia melihatku sebagai Yoochun. Bukan dengan status di belakangnya.
Perlahan. Aku berbalik. Menatap 5 gadis remaja di depanku dengan senyum terpaksa. Lalu....... aku mengambil langkah seribu. Sebodo dengan pemberitaan di media nanti. Aku hanya ingin menyelamatkan diriku sendiri saat ini...
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dia lari. Dengan kencang. 5 gadis remaja tadi sempat shock, tapi mereka mengejar Yoochun juga. Sementara aku masih terpaku disini. Hanya sampai sini? Lalu, dimanakah jalan takdir itu? Bukankah harusnya ada jalan yang bisa mempertemukanku lagi dengan Yoochun? Tapi, mengapa semuanya terputus sampai disini?
Aku memandang ke bawah. Apa itu? Handphone? iPhone? Aku mengambilnya. Sepertinya ini benar milik Yoochun. Senyum tergores di bibir ku. Yah, takdir memang tidak meninggalkan ku. iPhone ini, entah bagaimana, terjatuh dari saku Yoochun. Menunjukkanku ke jalan terang. Sekali lagi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Ayyy girl. Tried to make you my baby. Instead you make me go crazy...." Nada dering itu menghentak di mini bus travel jemputanku. Puluhan mata memandangku kali ini. Aku mengerut dan tersenyum penuh penyesalan pada mereka.
Aku menatap iPhone yang layarnya berkedip itu. Huruf Hangul lagi. Tapi, sepertinya aku mengenal tulisan ini. Sepertinya, Jaejoong lah yang menelpon ke handphone Yoochun. Tanpa pikir panjang, aku langsung menekan tombol hijau.
"Hello..." Aku yakin, suaraku lebih menyerupai anak kucing kejepit bajaj daripada suara manusia.
"Umm.. Hello.. Is this Yoochun's phone?" Logat Jaejoong terdengar aneh di telingaku. Tidak seperti suara Yoochun yang dalam dan pas di telinga. Eh, kok malah ngelamun kaya gitu sih?
"Yes. I am his new friend. Tadi handphone Yoochun jatuh waktu aku ketemu sama dia. Jadi aku simpen. Kamu Jaejoong?" Aku sengaja memelankan kata 'Jaejoong', siapa tahu di minibus ini juga ada beberapa Cassie.
Lama tidak terdengar balasan di sana. Mungkin, Jaejoong menimbang beberapa kemungkinan. Aku berharap bukan kemungkinan terburuk yang dia putuskan.
"Iya, benar. Aku Jaejoong. Dari tadi, aku tidak bisa menemukannya. Kau tahu dimana dia?"
"Tadi, dia buru-buru meninggalkanku. Dan aku sudah tidak bisa menemukannya lagi di bandara. Bagaimana kalau kamu mengambil handphonenya dulu. Aku merasa tidak enak."
"Baiklah, terima kasih. Aku hanya takut dia tersesat dan diculik oleh para Cassie. Kau tahu seberapa gilanya mereka, kan?" Aku tidak tahu Jaejoong bercanda atau tidak. Ku putuskan untuk tertawa saja.
"Haha. Tenanglah. Aku tahu Yoochun. Dia tidak mungkin sebodoh itu." Ya, aku memang mengenal Yoochun. Aku habiskan malam-malam dengan memandangi foto dan mengenal emosinya. Aku belajar untuk mengenal pikirannya. Bagaimana cara dia merasa. Tentu saja aku mengenalnya. Mungkin, lebih dari yang lain. Dan untuk Jaejoong, tidak usah ditanya. Aku merasa menjadi dirinya. Aku merasa berbagi pikiran dengannya. Aku mengirimkan gelombang ku padanya. Agar dia mengenaliku saat kami bertemu nanti. Sedangkan untuk Xiah, entahlah. Seakan ada dinding besar yang menghalangiku untuk mengenalnya. Aku belum menemukan gelombang yang pas dengannya. Tapi, aku percaya semuanya hanya masalah waktu.
"Kami menginap di Hotel Red Wine. Bisakah kau datang kesini?" Aku terkesiap. Tidak siap dengan kebetulan ini. Aku juga berada di hotel yang sama dengan mereka.
"Kebetulan sekali. Aku juga berada di hotel itu. Bisakah kau menghubungiku lagi nanti? Aku harus pergi sekarang...."
"Tentu saja. Aku akan menghubungimu 30 menit lagi. Bye." Perasaanku saja, atau suara Jaejoong terdengar kecewa saat berpisah denganku. Baguslah. Paling tidak berarti usahaku membaca pikiran mereka tidak sia-sia.
"Oke, bye..."
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(to be continued)
0 comments:
Post a Comment