Fairy Tale At Night

Fairy is flying around the world. Spread the pixie dust to all children and human. Make them believe to miracle and to love. At night, all fairies wake up from their long hibernation. Only to whisper to the creatures, that music and love, are two things which make ur life's going better... That fairy... is me... ^^

Pufft. Badan ku rasanya remuk (sapa suruh habis dari skul langsung ke warnet?), ngantuk (makanya tidur), laper (sudah ditawari makan sama ortu malah ditolak), sakit hati (makanya ga usah di urusin). Semua itu cuma sekilas gambaran untuk kondisi ku saat ini. Rasanya, Dewa Atlas baru saja menimpakan bola dunianya pada ku.
Jam 3 sore tadi, seharusnya aku mengerjakan tugas ku untuk lomba yang harus ku persiapkan. Tapi, semuanya berantakan saat aku iseng membuka blog langgananku. Headlinenya tertulis besar-besaran, JYJ BATAL KONSER DI INDONESIA. Kalo mau lebay, beginilah perasaan ku saat itu. Jantungku rasanya ketiban bom atom Hiroshima-Nagasaki, aliran darah ku langsung membeku kayak ditaruh di freezer selama 2 minggu, mataku melotot sebesar bola basket, untung aja ga sampe jatoh. Otakku yang tadinya hanya ku dedikasikan untuk lomba, tadi malah berubah haluan secepat angin tornado. Ini baru membaca headlinenya, pas ku baca artikelnya, waduh, ga tau deh. Hancur lebur remuk redam. Awalnya, pembatalan konser JYJ itu dikiran didasari oleh skandal Yunjae. Dari blog itu, katanya Jaejoong diduga ehem, adalah seorang gay dan seperti yang kalian tahu, kalo Indonesia itu amat sangat lebay. Makannya mereka tidak memperbolehkan JYJ datang ke Indonesia.
Hmm, sebagai K-Pop, aku tau Yunjae pasti jadi favorite couple walaupun bukan oleh para Cassie. Jadi, mungkin bagi mereka yang termasuk fans Yunjae, sangat tidak rela kalau 2 namja itu harus berpisah. Para fans Yunjae itu akhirnya menghalalkan segala cara buat bikin mereka balikan lagi. Aduh..... Aku percaya kalian udah dewasa, tapi kan permasalahannya ga semudah itu. Ini masalah kontrak, masalah uang, kepercayaan. Kalau kalian benar para Cassie, apa kalian tidak merasakan perasaan Jaejoong saat kalian meneriakkan nama Yunho di depannya? Kalian pikir dengan senyum itu dia berarti bahagia? Kenangan 6 tahun bukanlah kenangan yang bisa dilupakan dengan mudah. Apalagi kenangan antara Jaejoong dengan Yunho. Sekarang, saat dia sudah merasa mampu melangkah tanpa melihat ke belakang, apa kalian tidak mau membantunya?
Kalau kalian penasaran, cari saja di Youtube dengan kata kunci "Shy Boy, JJ!! when cass shouted Yunho", "Jaejoong respond to Yunho_Yoonjae compilation", "Jaejoong was so shy when fans shouted Yunho's name." Beneran deh, walaupun Jaejoong senyum-senyum doank disana, dia itu sedang menahan air mata.....!!! Arrrgghhh.... Ayolah. Kalau kalian benar para Cassie dan merasa diri kalian manusia, biarlah dia hidup dengan masa sekarang. Bukan dengan masa lalu bersama TVXQ. Jika kalian ingin TVXQ kembali besatu, bukan begitu caranya! Kalian hanya membuat JYJ terus berada di bawah bayang-bayang TVXQ dan SM Entertaiment.
Setelah aku mencari-cara informasi pembatalan konser JYJ di Indonesia, ternyata penyebab utamanya adalah promotor konser Indonesia yang ga becus. Huh!!! Sumpah deh aku malu banget sebagai warga negara Indonesia. Ternyata, mereka menjual tiket tanpa konfirmasi ke Cj-es Entertaiment terlebih dahulu. Ga jauh beda kan sama nilep uang orang. Ya ampun. Beneran deh.
CJ-es Entertaiment sebenarnya udah ngasih peringatan, tapi ternyata diulangi lagi sama promotor Indonesia. Minta ditabok emang tuh.
Dan kalian tahu, CJ-es mengatakan kalau jika JYJ konser di Indo, mereka takut hal itu akan merusah image JYJ. Awalnya au ga ngerti, tapi setelah dijelasin temenku, akhirnya aku mendukung keputusan ini. Kalian tahu saat SHINee datang kesini? Oh Tuhan, panggung sempit, kabel berantakan, speaker kondangan, background panggung gitu-gitu aja. Please deh. Mereka yang biasanya tampil di Mubank atau di Inkigayo dengan wow nya tiba-tiba harus manggung di panggung kaya gitu. Apa ga malu-maluin namanya? Lagu Lucifer yang juga biasanya energik, tiba-tiba hilang mantranya. Aku tidak merasakan apa-apa saat SHINee menyanyikan Ring Ding Dong, Lucifer, dan Hello. Aiggoo.
Beneran deh, double attack banget hari ini......

Aigoo. Baru aja selese nonton Naughty Kiss dari episode 1 sampai 16. Pufft. Baru tau ternyata namja dongsaeng ku suka banget sama K-Drama. Kirain cuma iseng doank. Haha.
Ceritanya so sweet banget. Beneran deh. Apalagi episode-episode terakhirnya. Totally drive me crazy. Ahaha..
Tapi, selalu ada yang hilang tiap aku selesai menonton film atau membaca buku. Mungkin, bagiku film atau buku adalah dunia lain yang memang hanya hidup dalam imajinasi ku semata. Semuanya hanya pengalih perhatian dari hari-hariku yang biasa. Setiap aku menonton film, seakan aku juga pemain di dalam sana. Aku juga mengambil peran penting dalam jalannya film itu. But, after all conflicts have been solved and The End word has been written at the end of story, suddenly I'm lost. Film itu meninggalkan ku sendiri. Sementara film itu telah berhenti, aku ternyata masih disini, tidak ada kata tamat yang membuat semuanya terasa mudah.
It's not that I don't love my life, I really love it. Tapi, terkadang, cinta saja tidak cukup untuk merubah keadaan. Dibutuhkan usaha. Dibutuhkan doa. Dibutuhkan keajaiban. Permainan takdir. Itu dia masalahnya. Aku tidak tahu harus mulai berusaha darimana. Guru-guru ku tidak pernah mengajari bagaimana cara hidup yang sebenarnya.
Film Naughty Kiss, terasa seindah fairy tale yang berakhir dengan bahagia. Walaupun pada awalnya Ha-Ni sangat kesusahan meraih cinta Seung-Jo, akhirnya mereka menikah juga. Apa semudah itu hidup? Kau hanya perlu bermimpi dan tiba-tiba saja semuanya menjadi kenyataan? Ha-Ni memang tidak hanya bermimpi, dia juga berusaha, dia dicacimaki, dia disakiti sampai akhirnya Seung-jo mau melihat ke arahnya.
Mungkin, inilah yang tidak pernah ku lakukan. Berusaha. Aku terlalu lelah dan letih untuk berusaha. Aku takut gagal. Di satu sisi, aku ingin berhasil. Tapi perasaan takut gagal itu lebih besar daripada perasaan ingin berhasil. Karena itulah, aku hanya terjebak disini.
Apakah benar-benar ada fairytale di luar sana? Fairytale yang benar-benar berakhir bahagia? Aku ingin tahu. Agar aku yakin bahwa suatu saat nanti, aku juga akan merasakannya.
Atau, paling tidak, apakah ada manusia atau gadis sempurna di luar sana? Gadis yang cantik, pintar segalanya, kaya, mempunyai kekasih yang juga kaya dan tampan? Apakah memang ada? Mereka yang terbuat dari sendok perak. Hanya tinggal meminta dan semua yang mereka inginkan langsung terwujud.
Jika aku bisa memilih, hidup macam apa yang ku inginkan? Tentu saja hidup yang mewah, hidup yang penuh dengan kartu kredit di sekelilingku, hidup dengan teknologi canggih yang selalu up to date, hidup dengan teman-temanku, hidup dengan kesempurnaan yang tiada akhir.....
Ku pikir, selama ini aku tau tujuan hidupku. Ternyata aku salah. Aku masih tidak tahu harus melakukan apa di masa depan. Apa aku akan terus menulis? Apa aku akan tetap secantik ini? Apa Kim Jaejoong tetap mencintaiku? Hehehehe. Intinya, walaupun aku bisa menyelesaikan soal Matematika yang rumit, menganalisis teori Sosiologi, menghitung jutaan uang dengan rumus Akuntansi, aku masih tidak tahu jawaban untuk hidupku. Aku, yang dulu dengan mantap melangkah untuk masa depanku, sekarang kebingungan. Tapi, bukankah hidup itu kejutan? Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada hidupmu pada detik selanjutnya. Mungkin saja, saat kau memesan makanan di restoran, kau menabrak seorang lelaki dan ternyata dia ada jodohmu. Mungkin saja, kau yang dulu sangat mantap mengambil jurusan Kehutanan malah nyasar kerja di bank negeri. Tidak ada yang tahu rencana Tuhan. Don't pretend u can control everything.. Seperti di Naughty Kiss, the stupid Ha-Ni akhirnya bisa menikah dengan the genius Seung-jo. Dia yang dulu ditertawakan karena kemampuannya, mampu membuktikan bahwa dia bisa... Itu mungkin hanya terjadi di film. Tapi.... sekali lagi, siapa yang tahu? Lebih baik  berhenti mencari jawaban. Biarkanlah hatimu mencari sendiri jawaban itu. 
Semakin aku berpikir, semakin aku sadar. Hidup itu perjuangan. Semua hal pasti selalu ada akhirnya. Tuhan tidak mungkin membuat hidupmu sesempurna itu. Saat kau merasa beruntung, tiba-tiba saja Dia mengirimkan hal yang membuatmu merasa menjadi orang paling malang sedunia. Aku sudah berkali-kali merasakan ini. Tuhan itu lucu. Saat keadaan terasa sempurna bagiku, dia membalikkan semuanya. Saat aku merasa sangat tidak beruntung, tiba-tiba saja dia mengirimkan keajaiban yang bahkan terlalu indah untuk dipercaya. Tapi, di luar semua itu, Tuhan memang selalu ada untukku. Tidak perduli berapa kali aku melanggar perintahnya, berapa kali aku marah padanya dan tidak mempercayainya...
Suatu saat nanti, aku pasti akan menemui sebuah akhir. Suatu hari nanti, aku pasti akan menutup buku ku dan dengan bahagia membaca kata The End... Entah kapan, aku pasti akan bertemu pangeran yang selama ini ku impikan.. Mungkinkah dia ternyata Choi Siwon? Kim Jaejoong? Park Yoochun? Han Geng? Kim Heechul? Hanya Tuhan yang tahu. Tapi, aku percaya, yang ditakdirkan Tuhan untukku pasti yang terbaik. Dia mungkin tidak sesempurna Choi Siwon atau Kim Jaejoong, tapi, cinta bukanlah mencari seseorang yang sempurna. Tapi bagaimana cara kita mencintai orang itu dengan sempurna. Dengan begitu, kita akan merasa sempurna untuk satu sama lain. Mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan segala kekurangannya walaupun mereka sudah mempunyai akal? Karena dengan akal itu, dia bisa mencari kesempurnaan untuk dirinya sendiri melalui orang lain. Puzzle tidak akan ada bentuknya jika kita belum menemukan dan memasang semua piece yang diperlukan. Maka, kita harus mencari piece yang tepat agar puzzle kita sempurna...

Ga kerasa, besok sudah mulai masuk sekolah lagi. Kembali dengan rumus-rumus njelimet yang bikin rambutku tambah keriting. Pufft, serasa mau pinjem mesin waktu Doraemon supaya liburan seminggu semalem terulang lagi. Haha.
By the way, bukan itu yang mau ku bahas kali ini. Lihat judul di atas? Yup, psycho! Kecanduan ku terhadap thriller movie membuat ku mampu berpikir lebih jauh tentang para psycho yang sebenarnya berkeliaran di luar sana.
Karena aku lagi males banget buka Wikipedia yang isi nya bahkan terkadang melenceng dan sebenarnya butuh verifikasi itu, aku akan menyampaikan pendapatku saja kenapa beberapa orang memilih jadi psycho.
Pertama, karena trauma masa lalu. Sedikit menyinggung teori sosiologi, seorang ahli mengemukakan sebuah teori pembentukan kepribadian yang disebut tabula rasa. Saat manusia baru saja lahir, dia diibaratkan sebagai kertas putih tanpa noda dan cela. Seiring waktu berjalan, si manusia tadi akan memperoleh pengalaman-pengalaman baru yang membuat kertas putih tadi terisi oleh hitam, merah, biru dan sebagainya. Nah, warna-warna atau pengalaman-pengalaman inilah yang akan membentuk si manusia tadi untuk menemukan jati dirinya. Untuk kasus para psycho, bisa jadi pengalaman yang membentuk mereka adalah pengalaman buruk dan belum bisa diterima oleh akal mereka yang masih di bawah rata-rata.
Kedua, karena kebencian yang berlebihan. Kalo ini sih sudah menjadi alasan umum. Para psycho biasanya adalah orang-orang yang yang tidak mampu mengendalikan emosi yang ada dalam jiwa mereka. Mereka tidak mampu berpikir dengan logika dan mengedepankan apa yang basic instinct mereka katakan. Bisa jadi, karena melihat kenyataan yang ada tidak sesuai, mereka berusaha membuat keadaan dimana tidak seorang pun yang bisa bahagia sementara mereka menderita.
Ketiga, bisa jadi sebenarnya psycho yang sesungguhnya itu adalah mereka yang mahir membohongi orang lain atau menjadi seseorang yang sama sekali bukan diri mereka sendiri. Kalian pernah nonton "Orphan"? Pembunuhnya, Esther, mahir sekali mengelabui orang-orang di sekitarnya sehingga menganggap si Esther ini hanyalah gadis imut manis lucu berumur 9 tahun. Bahkan dia berhasil membohongi seorang psikolog ternama! Ternyata oh ternyata, Esther adalah wanita dewasa berumur kalo ga salah 30 tahun. Dia menderita gangguan hormon dan membuat tubuhnya terlihat seperti anak kecil. Jadi, waspadalah terhadap lingkungan sekitarmu. Teknologi yang berlimpah bukanlah jaminan kau akan selamat dari para psycho yang sebenarnya mengintai dimanapun dan kapanpun. Dunia bukanlah lagi tempat aman untuk bersembunyi.
At least but not last, beberapa thriller movie yang ku tonton benar-benar membuatku gemas. Si korban malah lari ke tempat sepi daripada ke tempat ramai seperti jalan raya. Ini beberapa tips kalo ternyata kamu benar-benar bertemu dengan si psycho ini.
Jangan pernah lari ke tempat sepi. Jika ternyata kau memang ada di tempat sepi, ingat-ingat kemana arah jalan raya atau tempat ramai lainnya.
Jangan panik. Panik hanya membuat keadaan bertambah parah. Jangan berteriak meraung-raung memintanya untuk tidak membunuhmu atau bertanya apa kesalahanmu, kau hanya akan menyiram bensin pada api dan memacu bom dalam dirinya untuk lebih cepat meledak. Tidak akan ada gunanya. Tetap pertahankan akal sehatmu. Seorang psycho selalu menganggap dirinya pintar daripada siapapun. Padahal, hal ini semata-mata karena yang terancam bukanlah dirinya, melainkan kamu.

Well, hanya itu yang bisa ku posting untuk saat ini. Thanks for reading. Semoga bermanfaat... ^^


 Cast                           : JYJ (Junsu, Yoochun, Jaejoong)
 Cameo                       : Dylandia Elfyza
 Genre                       : Romance, Mystery, Tragedy
 P.S. Tolong tinggalkan jejak bagi siapapun yang sudah baca ya. Makasih. Dilanjutkan atau tidaknya fanfic ini tergantung pada respon kalian... Gomawo ^^


Jaejoong POV
Kalian punya palu? Atau traktor? Atau benda apapun yang bisa menggilas kepalaku sampai hancur? Aku benar-benar membutuhkan itu sekarang. Ah, satu lagi, aku juga sangat membutuhkan obat yang bisa membuat amnesia. Kejadian di kamar barusan membuatku serasa tidak punya muka lagi.
Pelayan yang mengantarkan makanan kami sudah pergi dari 5 menit yang lalu. Tapi aku masih tidak mempunya nyali untuk segera kembali ke kamar tempat Dyland pasti sedang tersenyum bahagia sekarang.
Bah! Aku mengepalkan tanganku. Mencari objek apa saja yang bisa ku pukul untuk melampiaskan rasa marah ini. Dia menolakku! Cuih. Dia pikir seberapa cantik sih dia? Aku bahkan bisa membeli 1000 Dyland dalam waktu satu malam.
Tapi kau tidak akan pernah menemukan ‘1000 Dyland’ itu. Karena dia termasuk cewek ajaib yang bisa membuatmu gila seperti saat ini. Hati kecilku tertawa.
Sialan. Bahkan hati kecilku tidak mau memihakku kali ini.
Aku memegang dadaku. Debar itu makin menggila. Bukannya berkurang seperti yang seharusnya. Was she just cast a spell on me? Mungkin. Teringat sejak aku bertemu dengannya hari ini tadi, aku menjadi seperti orang linglung.
Tiba-tiba, ponsel yang ada di saku ku bergetar. Aku terlonjak.
“Hallo..” Suara ku sepertinya masih belum kembali normal. Masih selirih tadi. Seakan yang tengah menelpon ku ini adalah Dyland. Damn, kenapa dia lagi sih yang ada di otakku?
“Jaejoong hyung, bagaimana dengannya? Sudah siuman?” Suara yang bernada kecemasan jelas dapat ku tangkap dari intonasi suara Yoochun.
“Oh iya. Dia sudah siuman.” Jawab ku sekadarnya. Yoochun pasti tengah mengerutkan kening di seberang sana.
“Lalu, kau sudah menanyakan namanya?”
“Dyland. Namanya Dyland.” Aku membeo.
“Dyland.. hmm.. nama yang unik.” Yoochun terdiam untuk beberapa saat. Mungkin dia sedang meresapi nama ‘Dyland’ itu di memori otaknya.
“Ah, hyung. Aku sangat khawatir dengannya. Tadi tiba-tiba saja dia pingsan. Ku rasa dia tidak terlalu sehat. Apalagi cuaca sedang panas sekali di luar walaupun ini sudah jam 6 sore. Tidak mungkin juga kalau kita antar dia pulang. Bagaimana kalau kita suruh dia istirahat dulu? Aku berani bertaruh dia tidak tahu tentang kita.” Suara Yoochun tegas dan pasti. Tapi, aku tidak ingin mengambil resiko terjebak dengannya lebih lama lagi. Bisa-bisa aku akan terkena serangan jantung.
“Hyung…..” Sepertinya aku cukup lama melamun sampai-sampai Yoochun memanggilku dengan nada mendesak.
“Oh, baiklah. Terserah kau saja.”
“Err, ku perhatikan hyung juga agak tidak sehat hari ini. Kau kebanyakan melamun. Ada masalah?” Ah, Yoochun. Selalu saja seperti ini. Dia lebih mengenalku daripada yang lain. Kecuali……. Shit, kenapa aku memikirkan orang itu lagi? Orang yang jelas-jelas mencampakkan kami hanya demi ketenaran semu yang sudah kami cicipi. Orang, yang dulu menawarkan kami persahabatan sejati dan arti keluarga sesungguhnya. Namun, dia pula lah yang mengajarkan kami arti rasa sakit dikhianati dan dibuang sia-sia.
“Oh, aku tidak apa-apa. Sudahlah, kau dan Junsu lebih baik focus dengan acara kita. Aku harus mengurus Dyland. Dia mengatakan dia masih sangat pusing tadi.”
Aku juga terlalu mengenal Yoochun. Aku yakin dia sedang tersenyum sekarang. “Baiklah. Aku pergi dulu hyung. Jangan kau buat gadis itu sebagai target ya. Dia milikku. Hehehe.” Walaupun Yoochun berbicara dengan nada canda, aku bisa menangkap dengan jelas keseriusan di sana. Ya, dialah yang pertama mengenal gadis itu. Mungkin memang benar, dialah yang berhak.
Aku tergelak. “Haha. You’re the boss. Bye.” Klik. Sambungan terputus.
Nampan berisi steak dan the hangat di meja sebelah kiriku mulai menggoda seleraku. Aku baru ingat belum makan dari tadi siang. Hmm, mungkin aku harus melupakan kejadian yang baru saja menggores harga diriku dan focus pada makanan di depanku ini. Ha! Dia kira dia saja yang bisa menggoda. Makanan ini lebih menggoda daripada dia. Paling tidak, makanan ini tidak menolak saat ku makan.
Aku kebingungan sendiri. Sekarang aku mulai berkhayal tentang makanan, bagus sekali!
Aku membawa nampan itu kembali ke kamarku. Ku tarik nafas dalam-dalam.
“Fiuh… aku tidak peduli kau secantik apa. Kau hanyalah gadis biasa. Tidak istemewa. Camkan itu!” Aku mengomel pada pintu di depanku. Seakan dia adalah Dyland yang kini tengah memandangku dengan senyum miringnya. Sial! Apa Dyland itu sejenis virus temuan baru yang bisa menginfeksi otak? Aku benar-benar tidak bisa melupakannya.
Aku membuka kenop pintu dengan tangan kiriku karena tanganku memegang nampan berisi makanan.
Lalu…. Apa di depanku ini adalah bidadari? Aku terpana dibuatnya. Ku letakkan nampan di meja samping pintu kamar. Sekarang, tanganku bebas dan aku bisa leluasa menikmati keindahan di depanku ini. Dyland tengah berdiri di depan jendela kamar kami yang menghadap langsung ke arah matahari terbenam. Cahaya jingga yang misterius itu membungkus tubuh Dyland sebagai siluet hitam. Lekuk tubuhnya jelas terlihat dari tempat ku berdiri sekarang. Saat pingsan tadi, aku melepaskan jaket dan topinya. Ternyata, di dalam jaket itu dia hanya memakai tank top merah ketat. Sepertinya dia bukan tipe cewek ribet.
Dia juga memakai hot pants denim yang membuah paha putihnya terekspos dengan jelas. Aku bukannya sekali dua kali melihat perempuan tampil terbuka. Tapi, Dyland adalah pengecualian. Jika perempuan lain terlihat murahan saat berpakaian seperti itu, Dyland justru terlihat……tidak terjangkau. Seakan dia berusaha mengintimidasi kami, kaum lelaki, hanya untuk melihat padanya. Dan itu terjadi secara alami!
Rambut nya yang coklat bergelombang terlihat seperti tiara mahal di kepalanya. Pancaran sinar matahari membuat kilau rambutnya kian bercahaya. Aku masih tidak bisa menguasai diriku. Dia sungguh eksotis.
Aku mendekatinya perlahan. Seakan dia adalah binatang buruan yang bisa pergi sewaktu-waktu. Jantungku berdebar kian kencang. Dari belakang saja dia sudah sangat menawan, apalagi tampak depan?
Much better?” Tanyaku sesantai mungkin begitu sampai di sebelahnya. Aku baru sadar sedari tadi aku menahan nafas.
Yeah. Thanks to u.” Jawabnya lalu melihat ke arahku.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Matanya yang berwarna coklat terlihat seperti mutiara bening. Bibirnya yang kemerahan terlihat seperti apel ranum. Oh Tuhan. Ku rasa, aku benar-benar jatuh cinta.
Tapi, tiba-tiba saja…otakku kosong melompong. Bukan karena Dyland. Tapi, karena sesuatu lain yang juga tidak ku mengerti. Sesuatu yang…tengah mengontrolku kini.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DYLAND POV
Masih tertinggal sisa-sisa senyum kemenangan di bibirku. Jaejoong sudah pergi sejak 10 menit lalu. Terlalu lama untuk konteks mengambil makanan yang hanya berjarak beberapa meter dari kamar ini. Pasti, dia sekarang masih mengatur perasaanya.
Aku menoleh ke samping. Baru kusadari kamar ini menghadap langsung ke langit barat. Aku menarik nafas dalam-dalam. Entah kapan terakhir kali aku menyaksikan sunset secara langsung. Tidak bisa menahan diri, aku menyingkap selimut yang menutupi tubuhku dan turun dari tempat tidur. Tunggu dulu! Kok dingin sih? Perasaan tadi aku memakai jaket deh. Aku melihat ke bawah dan terbelalak kaget. Jaket ku menghilang! Darah dari bagian tubuh ku yang lain langsung tersedot ke mukaku. Berarti.. tadi Jaejoong melepas jaket ku itu?
Aku semakin terkejut saat menyadari ternyata….. aku hanya memakai tank top merah di dalam jaket itu! Aku memang sama sekali belum mengganti baju sejak tiba disini. Tapi, ku pikir tidak akan ada yang tertarik melepas jaket ku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Ah, tentu saja alasannya jelas. Tadi aku pingsan, untuk alasan kesehatan, tentu saja Jaejoong berinisiatif melepas jaket ku.
Bodohnya aku, kenapa harus tank top? Merah lagi! Dan ya ampun, seperti nya tank top ini ku pakai dua nomor lebih kecil dari ukuran baju ku sebenarnya. Yang berarti sangat pas di badanku. Ketat. Mengundang. Jika tadi hanya darah yang tersedot ke mukaku, ku rasa urat malu ku pun sudah putus.
Seolah semua kejadian yang menjatuhkan harga diriku sebagai perempuan terhormat itu belum cukup, masih ada satu fenomena yang tidak kalah mengejutkannya. Aku hanya memakai hot pants denim yang, sungguh sangat pendek! Potongan ingatan mulai bermunculan di otakku. Karena di kamarku tadi panas sekali, ku putuskan untuk memakai hot pants saja agar lebih nyaman. Bodohnya aku, aku lupa menggantinya dengan celana yang lebih pantas. Ya, satu hal sepele namun detailnya sungguh penting jika dilupakan.
Aku menutup kedua mukaku. Membayangkan bagaimana saat Jaejoong tadi melihatku dengan keadaan seperti ini. Tapi, bukankah Jaejoong dikelilingi oleh gadis yang bahkan lebih seksi dariku tiap harinya? Lalu, apa aku membawa perbedaan berarti? Mengingat fakta ini, aku sedikit lega. Jajeoong bukanlah seorang remaja puber yang langsung horny begitu melihat perempuan memakai baju terbuka.
Tetap saja ini memalukan!
Aku membuka kedua tangan yang menutup mukaku. Lalu, aku terperangah. Semburat jingga mulai memperlihatkan keagungannya di cakrawala. Awan-awan yang biasanya berwarna kelabu itu, kini seakan diwarnai oleh paduan warna terindah yang menyegarkan mata. Sejenak, aku melupakan tanktop merah menggoda dan hot pants denim tadi.
Aku berdiri dan melangkah ke arah jendela kamar yang bening tanpa cela. Sangat indah. Matahari selalu meninggalkan kesan sebelum dia siap kembali menyinari bagian dunia yang lain. Aku terpukau oleh keindahan yang hanya bisa dilukis oleh seorang seniman dunia. Sebuah mahligai yang menggetarkan hati tiap insan yang bisa merasakan. Beribu warna bermain di retina mataku. Namun, warna-warna itu masih belum mampu mengalahkan keindahan bintang senja ini, sang matahari.
Aku mengangkat kedua tanganku dan menggeliat sebentar. Ahh, nyaman sekali rasanya. Merupakan suatu kehormatan melihat sunset di kota penuh polusi seperti Jakarta.
Much better?” Tiba-tiba, Jaejoong sudah berdiri di samping ku. Entah sejak kapan. Aku terlalu mengagumi fenomena di depanku kini. Aku tidak menangkap nada apapun dalam suaranya. Santai dan….terdengar bersahabat.
Dia lalu menoleh ke arahku, tidak ketinggalan senyum dan tatapan andalannya itu. Dadaku berdebar lagi. Lebih keras. Tidak ku sangka akan berbagi pemandangan ini bersama seorang Kim Jaejoong.
Yeah. Thanks to u.”  
Kami terdiam selama beberapa saat. Tunggu, kenapa aku tidak bisa menangkap getaran apapun? Gelombang apapun? Bukankah aku seharusnya sadar jika dia sudah masuk ke kamar ini? Rasa khawatir menyergap ku dengan tiba-tiba. Ini tidak biasa terjadi. Aku berusaha meraih pikirannya. Mustahil aku tidak bisa merasakan apapun sedangkan dia ada di depan hidungku.
1 menit…
2 menit..
3 menit..
? menit..
?? menit..
Sial, kenapa benar-benar tidak bisa. Ada yang salah disini. Kenapa? Aku merasa mati rasa….. Semakin aku berusaha, semakin aku ditolak oleh kekuatan itu lagi. Kekuatan yang…….menjatuhkanku saat Yunho menelpon Yoochun tadi. Ku kira, itu semata-mata karena rasa marah di antara keduanya. Ternyata, sebuah kekuatan mengontrol mereka supaya merasakan kemarahan itu. Dan, kekuatan itu pula yang sekarang memblokir pikiran Jaejoong dari jangakauan ku.
“Aku menyukai matahari. Sangat. Kami berlima menyukai matahari.” Jaejoong berkata padaku. Nadanya….sangat datar. Dingin. Seakan bukan dia yang bicara. Aku menajamkan pendengaranku.
“TVXQ adalah pemuja matahari. Tanpa matahari, kami merasa lemah. Tanpa cahayanya, kami berada dalam kegelapan.” Pemuja? Kenapa Jaejoong menggunakan relevansi kata pemuja? Terlalu fanatik menurut ku. Mengapa tidak…..pecinta misalnya? Pemuja… seperti sinomim dari sebuah sekte penyembahan. Tiba-tiba, tubuhku menegang. Ada yang salah disini. Insting dan firasatku berkata begitu. Nenek Rose mengatakan aku tidak boleh mengabaikan firasat yang bisa datang sewaktu-waktu.
Matahari mulai tenggelam. Warna biru gelap mulai mendominasi awan-awan yang mengantar kepergiannya. Kali ini, aku merasa takut…
“Tahukah kau, jika kita melihat matahari yang bersinar terik terlalu lama, matamu akan buta? Dan hanya kegelapan yang akhirnya kau punya?” Ragu-ragu, aku mengangguk. Nada bicara Jaejoong… seakan tidak mempunyai jiwa. Hampa.
“Matahari dan kegelapan hanya dua sisi mata uang berbeda, namun sebenarnya sama. Tanpa kegelapan, orang-orang tidak akan menyadari ada sinar terang yang menuntun jalan mereka. Tahukah kau apa yang terjadi di antara kegelapan dan matahari?” Aku menggeleng. Sepertinya, aku berubah menjadi mainan yang hanya bisa menggerakkan kepalaku saja.
“Simbiosis parasitisme.” Suaranya… sarat dengan kebencian. Dendam. Tapi, apa hubungannya matahari, kegelapan, TVXQ, JYJ, SM Entertaiment, dengan masa lalu mereka? Dan dengan misi penyelamatan yang sedang ku jalankan ini?
“Matahari mendapatkan ketenaran dan pujaan dari manusia. Sedangkan kegelapan hanya figuran, kegelapan dihujat karena ‘gelap’ nya yang dibenci. Tidak ada yang menyukai kegelapan. Tidak ada. Kegelapan tidak bisa menyembuhkan apapun.” Jaejoong meraih daguku dan memaksa mataku untuk beradu dengan manik mata hitamnya. Aku terpaku. Tidak ada yang menenangkan ku di dalamnya hitam mata itu. Sorot mata itu, sorot mata yang tidak bisa ditolak karena hipnotisnya. Ya, ku rasa dia menghipnotisku dengan matanya. Bukan hipnotis yang membuatku terlena, tapi, hipnotis yang membuatku ditelanjangi. Seakan dia tahu segalanya. Rahasiaku. Hidupku. Semuanya. Seakan… dia bisa melihat apapun melalui matanya.
Dia memajukan badannya dan berbisik di samping telingaku dengan intonasi, nada, dan tekanan terdingin sekaligus mematikan yang pernah ku dengar, “Matahari……terlalu sempurna, Dylandia Elfyza. Keajaibanmu tidak akan cukup untuk membuatnya cacat. Mereka…..adalah milikku….” Cukup sudah. Tubuhku langsung menggigil. Aku jatuh terduduk di lantai. Ah, serangan ini datang lagi. Gelap. Tapi, mengapa ada cahaya? Tapi cahaya itu…..terlalu menyilaukan. Menyakiti ku. Bukannya menunjukkanku jalan keluar.
Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhku, sangat sakit. Seakan ada ribuan jarum suntik yang ditancapkan ke pembuluh-pembuluh darahku. Menutup jalan pernafasanku.
“ARRGGHHH!” Tubuhku melengkung ke dalam. Sangat sakit. Tulangku seakan remuk. Ada apa ini? Kenapa? Aku rela memberikan apapun untuk menghentikan rasa sakit ini.
Gelap dan cahaya bergantian memenuhi syaraf-syaraf mataku. Semuanya… terlalu banyak. Terlalu sakit. Menyiksaku. Ku paksakan untuk membuka mataku. Dan…. Jaejoong yang berdiri menjulang di atasku tengah tersenyum miring dengan sorot mata licik dan dingin. Dia berbalik dan pergi.
Mataku berkabut. Jaejoong, ada apa? Kenapa?
“EERGG…HHHH!!!!!!” Aku tidak sempat berpikir apapun lagi. Rasa sakit itu datang lagi. Lebih dari sebelumnya. Sungguh, lebih baik aku mati daripada harus merasakan ini.
Belum sempat aku memulihkan rasa terkejutku oleh serangan brutal ini, sebuah mata muncul di pandanganku. Mata yang melihatku dengan ganas. Mata…yang seakan mengetahui labirin pikiranku. Rahasiaku. Semuanya. Lalu, aku merasa tubuhku dirobek dan dikoyak secara paksa……
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(to be continued)






Dyland POV
Kegelapan ini pekat terasa. Mematikan syaraf-syaraf ku yang biasanya awas dan terjaga. Pikiranku bergerak dalam kecepatan satuan terkecil. Aku tidak tahu aku masih bernafas atau tidak. Aku tidak bisa membedakan yang mana realitas dan yang mana khayalan. Namun, yang terlihat seperti realita dengan jelas adalah ruang hitam yang tengah mengurung ku kini. Ruang hitam yang terasa sangat kokoh dan menghimpit ku dengan kuat.
Aku tidak bisa lagi mengenali waktu disini. Tidak ada yang jelas. Kejelasan satu-satu nya hanya dinding jelaga di antara tubuhku yang kian meringkih. Aku tidak bisa berteriak. Seakan pita suara ku jauh tertinggal di suatu tempat di luar sana.
Aku berusaha mengingat apa yang telah terjadi beberapa saat yang lalu. Ku paksa otakku untuk bekerja. Tidak akan ku biarkan dia menyerah pada kegelapan non sense yang terasa memabukkan namun juga mematikan. Ku telusuri pikiranku yang entah kenapa terasa asing bagiku. Terlihat seperti labirin tanpa ujung dan penunjuk jalan sama sekali. Benarkah ini pikiranku?
Sungguh, rasa sakit ini semakin menjadi-jadi. Menginfeksi tiap sel-sel tubuhku. Mematikan tiap langkah ku. Aku hanya membutuhku satu teriakan, agar rasa sakit ini terbebas walau sedikit. Aku tidak tahan lagi. Ah, kegelapan ini sangat menyakitkan.
Tiba-tiba, dari kejauhan labirin yang sedang ku masuki, terlihat sosok tanpa bentuk melayang ke arahku. Mataku yang sebenarnya tidak bisa melihat apa-apa, terpaku pada sosok itu. Dia mendekat. Aku mengulurkan tangan ku yang gemetaran, meminta pertolongan, entah pada iblis atau malaikat. Aku hanya ingin dibebaskan.
Sedikit lagi... Dan, sebuah bisikian menerpa indra pendengaran ku. Suara manusiawi pertama yang ku dengar sejak ku tiba di tempat ini. Suara yang mendekatkan sekaligus menjauhkan dengan cara yang berbeda.
“Dyland, tutup matamu. Ikuti kemana hatimu ingin kau melangkah. Dengarkan suara yang ingin kau dengar. Bukan suara yang mereka ingin kau dengar. Jangan biarkan mereka mematikanmu. Ingat, kau masih punya urusan di relita di luar sana…….” Suara yanng ku yakin sangat ku kenal. Tapi aku sudah terlalu lelah untuk mengingat. Namun ku enyahkan jauh-jauh lelah itu agar aku bisa melaksanakan instruksi darinya.
Sosok itu perlahan tidak ku rasakan lagi keberadaannya di samping tubuhku yang kini meringkuk. Anehnya, aku tidak merasa kehilangan. Aku merasa… sosok itu memasuki diriku. Menuntun ku agar aku tidak jatuh lagi. Perlahan tapi pasti, aku menegakkan tubuhku yang tadinya lunglai tanpa tulang. Aku menumpukan bobot tubuhku pada dinding labirin ini. Ku dengarkan suara hatiku yang tadinya tertutup oleh kepanikanku. Ku bersihkan indra pendengaranku dari suara-suara aneh yang sebenarnya malah membuat keadaan memburuk. Aku menarik nafas dalam-dalam. Nafas tenang pertama yang berhasil ku lakukan. Aku menarik nafas lagi. Kali ini dengan konsentrasi tinggi. Ku tutup kedua mataku.
Lalu, entah darimana datangnya, memori terakhir yang terekam sebelum aku tiba disini memenuhi rongga otakku. Hampir aku jatuh lagi kalau saja aku tidak kembali mengingat bahwa aku harus keluar dari sini. Memori terakhir tadi berganti dengan intruksi lain, intruksi.. Nenek Rose? Aku kembali mengingat jati diriku. Bukan aku yang tadinya hanya tahanan di ruang gelap itu.
Ya, aku adalah Dylandia Elfyza. Gadis remaja yang tadinya normal. Mempunyai orang tua dan teman bernama Jingga. Kehidupan normal yang tercerabut dariku begitu kekuatanku mengambil alih. Kekuatan membaca pikiran. Nenek Rose adalah mentor ku agar aku bisa mengendalikan diri tiap kekuatan ini kumat. Dan satu lagi, aku masih dalam misi menyelamatkan 3 dan/atau 2 orang. JYJ dan/atau TVXQ. Boyband jebolan SM Entertaiment. Yang entah kenapa ku pikir ada sebuah misteri yang tak terbaca dari agensi tersebut. Aku berada di Jakarta. Dalam rangka misi penyelamatan pertama, menonton konser JYJ yang ternyata berubah menjadi bertemu JYJ. Ya, aku bertemu JYJ. Dan aku berani bertaruh saat ini aku berada di kamar hotel mereka setelah insiden telepon Yunho.
Aku tersenyum puas. Aku menatap labirin di depan ku yang sekarang terasa akrab. Dengan langkah pasti, aku melangkah. Hanya beberapa belokan kemudian, aku menemukan pintu itu. Kali ini senyum ku berubah menjadi seringai kemenangan. Satu pertandingan melawan kegelapan mampu ku lewatkan dengan kemenangan di pihakku.
Aku memutar kenop pinu itu. Jutaan partikel cahaya langsung menyambut pupil mataku….
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jaejoong POV
Jarum jam di atas ranjang ku yang kini ditempati olehnya menunjukkan angka 6, yang artinya sudah 3 jam dia pingsan. Yang juga berarti sudah 2 jam yang lalu Yoochun dan Junsu pergi untuk keperluan interview media lokal. Tadi sempat terjadi percekcokan antara aku dan Yoochun, siapa yang harus menjaga gadis ini. Junsu yang memang dari awal ilfill dan bahkan terkesan tidak mau berurusan, langsung menyediakan alternatif teraman, meninggalkan gadis itu di dalam lift. Sarannya langsung mendapat jitakan dari ku dan pelototan tajam dari Yoochun. Mungkin memang ada yang mengikat kami bertiga, Yoochun, gadis itu, dan aku.
Akhirnya, perdebatan yang seakan tiada akhirnya itu ditutp dengan pertaruhan gunting batu kertas. Siapa yang menang, itulah yang akan menjaga gadis ini. Dan keajaiban terjadi. Yoochun yang biasanya selalu menang kali ini malah kalah. Kemenangan berakhir di pihakku. Maka, disinilah aku sekarang. Duduk di samping ranjang tempat gadis itu berbaring dengan tenang.
3 jam yang lalu, gadis itu tiba-tiba pingsan. Anehnya, peristiwa itu terjadi bersamaan dengan hubungan telepon dari Yunho untuk Yoochun. Masih ada keanehan lain. Aku yang tadinya memang berdiri di samping gadis itu, bisa melihat dengan jelas butir-butir keringat yang bergulir di keningnya seiring dengan intensitas kemarahan Yoochun pada Yunho. Seakan kemarahan itu turut menyulut emosi tersembunyi dari gadis ini. Aku semakin terperangah saat dia menutup matanya kuat-kuat seakan baru dipaksa untuk meminum racun. Ekspresinya memang sama seperti itu. Tangannya mengepal. Seolah melawan kekuatan tak kasat mata yang berusaha menjatuhkannya.
Aku masih ingat dengan jelas teriakan kesakitannya beberapa saat kemudian. Lirih namun mengiris hati siapapun yang mendengarnya. Mungkin, aku terlalu peka. Tapi, sakit dalam suara itu jelas terasa. Aku merasa terhubung dengannya. Aku ingin menolongnya, namun hanya dalam hitungan sepersekian detik kemudian, aku tahu bahwa dia harus dibiarkan seperti ini. Kenapa begitu? Kali ini akal sehat ku mengajukan hipotesis yang sama sekali tidak ku mengerti.
Yoochun tentu saja tidak menyadari apa yang tengah terjadi tadi pada gadis itu. Dia membelakangi kami, walau raut muka nya tidak bisa ku lihat, aku tahu dia sangat marah dari nada suaranya yang kian meninggi.
Di luar dugaanku (dugaannya ada 3, Yoochun akan membanting iPhone keramat itu, atau Yoochun akan memaki Yunho dengan kata-kata paling kasar, atau kedua-duanya), suara Yoochun perlahan melembut dan bisa ku lihat bahunya yang awalnya tegang menjadi rileks. Seiring dengan suara Yoochun yang melembut, tubuh gadis itu perlahan jatuh ke lantai! Aku berani bertaruh dia akan mengalami geger otak kalau saja tidak ku tangkap tubuhnya.
Gadis yang baru saja mengguncangkan hari pertama kami tiba di Jakarta ini, sekarang tengah terlelap dengan damai dalam tidurnya (atau pingsannya?). Aku menelusuri lekuk wajahnya. Manis. Aku tersenyum kecil. Setiap wanita pasti terlihat seperti malaikat jika sedang tidur. Tapi gadis ini berbeda. Entah apa perbedaannya. Aku merasa nyaman walau hanya menatap wajahnya.
Tiba-tiba, matanya terbuka dengan amat perlahan. Aku terkejut dan hanya bisa mematung di tempat. Dia mengerjap dan memandang sekeliling dengan bingung. Oh Tuhan, dia imut sekali!
“Dimana aku?”
Aku, sekali lagi, hanya di depan gadis ini, menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Kamu lupa?” Pertanyaannya ku jawab lagi dengan pertanyaan. Apa lagi yang lebih bodoh dari itu, ha?!
“Tadi…… aku pingsan?” Dia terdiam sejenak, mungkin mengingat apa saja yang barusan terjadi. Matanya menunduk ke bawah tanpa fokus yang jelas. Aku gatal ingin memegang dagunya dan menyuruhnya hanya memandangku saja.
Aku tersenyum menenangkan. Senyum yang biasanya mampu membuat hati penggemarku terbang sampai ke langit ke tujuh. Aku penasaran, apa dia juga termasuk penggemar ku itu.
“Iya. Terus aku gendong kamu kesini. Is it okay?” Aku menyelipkan beberapa kalimat perhatian.
“Oh. Maaf ya aku udah ngerepotin kalian. Tadi, umm.. aku tiba-tiba aja pusing.” Dia meringis. Aku kebingungan. Gadis ini……tidak tertarik padaku? Dengan senyum paling maut tadi, dia masih saja bisa tersenyum santai begitu?! Hah?! Untuk pertama kalinya dalam karier ku sebagai artis, aku sangat penasaran untuk membuat gadis ini takluk.
“It’s okay. Take it easy.” Aku makin gencar menaklukannya dengan senyum ku. Tapi, ku lihat dia masih lempeng aja tuh.
“Oh, nama kamu siapa? Kamu belum nyebutin siapa nama kamu.” Aku menatapnya tepat di mata. Berharap dia menjauhi mataku tanda salah tingkah.
Dan…… dia balas memandangku! Lebih tajam dan berani! Sepertinya, aku yang mati kutu saat ini.
“Aku Dyland. Umm, temen kamu tadi namanya siapa?” Dia tersenyum dengan polos dan innocent. Aku hampir ingin mencekiknya karena kebutaannya itu. Dia menanyakan Yoochun! Bukannya aku yang menjaganya dari 3 jam tadi?! Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus menunjukkan siapa bosnya.
“Dia Yoochun. Sebenarnyas masih ada satu teman kami lagi, Junsu. Tapi kau belum bertemu dengannya.”
“Ooo. Aku hampir lupa. Ur name?” Sepertinya gadis ini sengaja membuatku meradang dengan “kehampirlupaannya” itu. Dia hampir lupa padaku? Yang kini jelas-jelas berada di depan matanya?!
“Aku Jaejoong. Kim Jaejooong. Tapi, kau bisa memanggilku Hero jika kau mau.” Dengan sengaja, aku memberitahukannya nama panggungku yang dulu pernah ku gunakan. Namun telah ku lupakan setelah aku memisahkan diri dari TVXQ dan berhenti menjadi budak SM Entertaiment. Saking penasarannya aku dengan gadis ini, Dyland, sampai-sampai aku meberinya clue tentang siapa aku sebearnya. Artis yang seharusnya dipuja-puja.
Dia tampak menahan geli. “Hah? Hero? Lucu sekali. Seperti nama khayalan anak-anak. Hehehe.” Apa?! Dia terkekeh? Kurang ajar! Aku mulai meragukan dia berasal dari Planet Bumi, pengetahuan umumnya mengenai artis papan atas benar-benar di bawah standar. Minus!
“Err.. Dyland. Kamu masih pusing?” Ku putuskan melawannya dengan cara licik. Akan ku hujani dia dengan perhtianku. Dengan senyumanku. Dengan tatapan mataku. Fans ku yang hanya melihat fotoku saja sudah menyembah-nyembah, apalagi jika ku berikan semua itu secara langsung. Akan ku seret dia dalam permainan ku. Rasakan! Siapa suruh tidak mengenali ku.
“Masih pusing, sih. Tapi aku ingin bertemu dengan Yoochun. Aku masih merasa tidak enak telah membawa handphone nya.”
“Mau ku belikan makanan?” Sengaja, tubuh ku yang awanya berada dalam posisi santai, sekarang condong ke arahnya. Aku yakin, sekarang aroma nafas ku tercium dengan jelas. Blossom mint. Bahkan seorang lesbian pun akan bersujud pada ku jika mereka benar-benar mencium aroma nafasku.
Aku menatapnya dengan lembut tepat di bening coklat itu. Ku tahan posisi itu selama beberapa detik. Ah, jika saja gadis ini tidak membuat harga diriku terluka tadi, mungkin bibirnya sudah menjadi milikku. Aku benar-benar tergoda untuk memilikinya…….
“Umm…. Nggak papa?” Tidak ada gejola emosi berarti di matanya. Aku semakin bernafsu.
“Memang harus ada harganya ya?” Aku memancing.
“Hehe. Kalo ada harganya mending aku beli makanan sendiri…” Sial, gadis ini kuat juga.
“Harganya ga mahal kok.”
“Jadi, maksudmu aku harus ngelakuin sesuatu buat kamu supaya kamu mau beliin aku makanan?”
Refleks, aku mengacak rambut keriting coklatnya lembut. “Tahu apa yang harus kamu lakuin?” Aku sengaja merendahkan volume suaraku.
Dia menggeleng. Aku semakin gemas saja dibuatnya. “Dengerin aku nyanyi…”
----------------------------------------------------------------------------------
Dyland POV
Apa? Dengerin Jaejoong nyanyi? Itu sih bukan harga. Tapi berkah. Aku hampir tidak bisa menahan bibirku membentuk senyum kemenangan. Aku tau sebenarnya dari tadi Jaejoong berusaha menarik perhatianku, tapi usaha yang awalnya hanya untuk main-main itu berubah serius saat aku tidak menanggapinya. Maka, ku ciptakan sebuah situasi dimana dia merasa memegang kendali. Padahal, justru akulah supir sebenarnya. Yap, senjata makan tuan. Dia lah yang masuk dalam permainanku. Bukan sebaliknya.
Mengapa aku bisa mempermainkan Jaejoong semudah ini? Berterima kasihlah pada kekuatan pikiranku yang tumben sekali bisa diajak bermain. Aku tidak akan membuat dia mendengar apa yang ingin dia dengar dariku. Justru, aku akan membuatnya kelimpungan dan terus menerus menghujaniku dengan tatapan mesra itu. Pengontrolan diri yang sudah diajari Nenek Rose sepertinya mulai menunjukkan hasil. Bukannya teriakan gila dan histeris tiap dia menatap ku dengan senyum maupun matanya, aku malah hanya tersenyum seolah yang di depan ku ini bukanlah seorang Kim Jaejoong dengan embel-embel artis di belakangnya.
Tiba-tiba saja, Jaejoong menyambar telepon di atas meja samping tempat tidur. Badannya yang awalnya condong semakin dekat ke wajahku. Nafasnya semakin keras menerpa pipi ku. Oh Tuhan.. Jika ini mimpi, sungguh aku tak ingin bangun…
Bahkan Jaejoong tidak berusaha menjauhkan tubuhnya dari depan mukaku begitu dia berhasil meraih gagang telepon. Dia tetap menahan posisi di sana sambil sesekali melirikku dengan senyuman jahil. Mungkin, dari luar aku terlihat tidak peduli dan terkesan biasa saja. Padahal, di dalam hatiku semburan magma dan lava berpesta pora. Ledakan kembang api mengiringi tiap detik yang berlalu. Aku menatapnya lekat-lekat. Menyimpan tiap kerlingan matanya sebagai candu ku di kemudian hari.
Dalam beberapa detik yang langka itu, semuanya terasa abadi. Terlebih lagi, saat Jaejoong selesai dengan urusan telepon menelepon itu. Dia meletakkan gagang telepon kembali di tempatnya. Kali ini badannya lebih condong daripada yang kesekian kalinya tadi. Bukan saja aroma nafasnya yang ku dengar, melainkan juga hembusan nafas dan detak jantungnya.
Jaejoong terus memandangiku dengan lembut. Seakan aku adalah boneka porselen yang akan hancur hanya dengan tatapan mata yang berlebihan. Kelembutan itu menyelimutiku. Butiran takdir membuat kami terpisah dari waktu sesungguhnya. Detik-detik jarum jam terdengar seperti melodi di telinga kami.
Jaejoong mendekatkan wajahnya padaku. Detak jantung itu bertambah keras. Bersamaan dengan nafasku yang mulai tersengal dan aliran darahku yang mulai terpacu.
Persetan dengan pengendalian diri. Untuk sekali ini saja, aku ingin menjadi gadis normal. Gadis yang merasakan first kiss pertamanya. Dengan seseorang yang hampir dikenalnya. Lupakan status terkenal. Lupakan tentang kenyataan. Aku hanya ingin menikmati momen ini sebagai kenangan terindahku. Karena mungkin setelah ini, aku tidak akan bisa menikmatinya lagi….
Jaejoong hampir menyentuh hidungku. Aku memejamkan mata. Merasakan sensasi aneh ini. Seakan ada ribuan serangga berdisko di perutku. Sekarang, bukannya kembang api lagi yang terjadi di hatiku. Melainkan bom nuklir tengah meledak-ledak dengan ganasnya.
Tapi, tiba-tiba saja aku teringat satu alasan kuat kenapa aku tidak boleh melakukan ritual first kiss ini. Nenek Rose, misi, JYJ, TVXQ. Shit! Kenapa aku tidak bisa mengabaikan itu dan menjadi egois untuk kali ini saja?! Sebuah suara membalas, atau lebih tepatnya mengejekku, karena aku terlahir untuk dikutuk menjadi lilin dan terbakar bersama api……
Dengan segera, aku menahan bibir Jaejoong yang merah dan menggoda itu dengan jari telunjukku. Dia tampak sangat terkejut.
“Apa makanan yang kau maksud adalah ini?” Aku berbisik di telinganya. Berusaha terdengar se-profokatif mungkin.
Bisa ku rasakan tubuh Jaejoong menegang. Dia segera menarik tubuhnya. Matanya melihat kemana-mana tapi tidak berhenti padaku. Aku tersenyum menggoda.
Atmosfer canggung yang datangnya dari Jaejoong dan atmosfer tenang yang ku ciptakan hancur saat bel di pintu kamar 603 itu berbunyi.
“Itu pasti makanannya.” Jaejoong lebih terlihat seperti melompat daripada bangun dari tempat tidur.
Aku tertawa kecil…
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(to be continued)



JAEJOONG POV
Suara gadis tadi telah menghilang sejak beberapa menit yang lalu dari speaker Blackberry ku. Namun mantra yang ditujukannya padaku melalui suaranya itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan hilang. Malah bertambah kuat. Debar itu masih tersisa. Hanya dari suaranya, dia mampu membuatku seperti ini. Sepertinya, aku mengenali suaranya. Seakan ada sebuah gaung dalam kepalaku yang terus menyebut-nyebut namanya. Nama yang hanya dikenal di dunia parallel, itu yang pernah dikatakan Yoochun padaku. Ha? Gila. Sekarang aku mulai mempercayai bualannya itu. Bagus sekali.
“Jaejoong hyung, bagaimana?” Tepukan keras melemparkanku kembali ke dunia nyata. Aku berbalik dan menemukan Junsu tengah memandangku dengan tatapan khawatir. Ah! Aku baru ingat, Yoochun menghilang sejak kami sampai di pintu kedatangan tadi. Tapi, kemana perginya rasa khawatir itu? Oh, tentu saja sudah disedot habis oleh suara merdu tadi. Aku kembali linglung.
“Hey, hyung, kau tidak apa-apa?” Mata Junsu membulat. Kebiasaan yang dilakukannya saat dia tengah khawatir pada sesuatu. Apa keadaan ku begitu mengkhawatirkan?
“Hyung, bicaralah padaku….” Sekarang Junsu mulai mengguncang bahuku.
“Hah? Oh! Iya, itu. Umm.. Yoochun baik-baik saja. Dia bertemu dengan temannya tadi di bandara ini.” Susah payah aku menggali memori dari pembicaraanku dengan gadis tadi. Merangkainya menjadi kata-kata jauh lebih sulit.
“Teman? Dia punya teman di Indonesia?” Junsu semakin melotot. Ya, tentu saja. Untuk orang-orang seperti kami, mempunyai teman dari luar negeri apalagi di negeri seperti Indonesia adalah hal yang mengejutkan. Karena definisi teman menurut kami jauh berbeda. Bukan hanya teman saat kau butuh kegembiraan, namun teman saat kau juga hampir mati. Jelas saja Junsu kaget. Mungkin, dia mengira teman-teman terbaik untuk Yoochun hanyalah kami berdua. Ya, ku pikir, gadis tadi lebih dari kami berdua. Karena itu dia pantas untuk ku sebut untuk teman Yoochun. Sedangkan untukku, kata kekasih terdengar lebih menggiurkan.
Lalu, tiba-tiba saja aku lupa mengatakan satu hal penting. “Oh, satu lagi. Tadi yang menjawab telepon adalah teman Yoochun. Dia mengatakan iPhone Yoochun jatuh saat dia berlari menghindar dari para Cassie. Jadi, ku pikir aku harus mengambil kembali barang itu darinya.”
“Apa?! Yoochun itu sudah gila ya? Jadi, maksudmu dia bertemu dengan temannya itu di bandara ini? Di tempat umum? Sepenting apa sih temannya itu? Aduh… Tunggu, berarti, dimana Yoochun hyung sekarang? Jangan bilang kalau…..” Junsu tidak berani melanjutkan perkataannya. Ya, aku sudah bisa menebak apa yang ada di kepalanya.
“Temannya mengatakan, dia tidak tahu dimana Yoochun berada saat ini.” Aku meringis. Sudah terbayang di kepalaku tingkat kegusaran Junsu akan situasi yang tengah kami hadapi.
“Aiisshh…. Bagaimana ini??!!”
Tenanglah. Yoochun tidak akan kenapa-kenapa.” Aku meredam teriakan frustasi Junsu. Ya, bukankah itu memang tugasku? Menjadi kuat bahkan saat aku terseok-seok mencari pegangan? Namun, tiba-tiba saja aku tersenyum. Mungkin, aku sudah menemukan pegangan itu.

Yoochun POV
“Hhhhh…” *intinya Yoochun lagi narik nafas kecapekan habis dikejar-kejar oleh serombongan Cassie yang tergila-gila padanya.
“Gila. Sampai kapan aku harus lari tiap aku ketemu cewek yang ku suka di tempat umum kayak gini?” Aku mengomel panjang pendek di tengah-tengah asupan oksigenku yang mulai menipis. Entah aku berada dimana sekarang. Seingatku aku hanya berputar-putar di tempat yang sama dari 1 jam tadi. Ah, bandara ini begitu kecil. Sangat sedikit tempat untuk bersembunyi.
Pikiranku melayang kembali padanya. Pada senyum dan tawanya. Ah, sepertinya aku masih bisa mendengar aroma rambutnya. Tiba-tiba saja, oksigen segar mengaliri tubuhku. Aku bisa bernafas dengan normal kembali. Bukan dengan nafas setengah mati seperti binatang buruan yang tengah diincar.
“Yoochun Hyung!” Aku berbalik. Ah, Junsu benar-benar mengacaukan mimpiku tentang dia.
“Kau kemana saja?! Kami mencarimu kemana-mana. Dan, Jaejoong… Puffftt..” Aku membungkam mulutnya dengan tanganku. Dipikirnya suaranya itu sekecil suara kelinci apa? Dengan nada biasa saja suaranya sudah menggelegar, apalagi dengan intonasi tinggi macam begitu?! Aku tidak akan mengambil resiko dikejar untuk yang kedua kalinya.
“Sebaiknya kau mengomeli aku di mobil saja.”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jaejoong POV
“Mwo? iPhone ku?” Yoochun terkejut sehabis ku menceritakan iPhonenya sekarang berada di tangan gadis itu. Ya, kami semua ternyata tidak mengetahui namanya. Yoochun juga bercerita dia baru bertemu gadis itu tadi. Tapi, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dariku. Terlihat dari matanya yang berkilat dan keterkejutannya yang berlebihan. Mungkinkah dia sebenarnya bahagia?
“Bagus sekali. Sekarang kesialan kita bertambah berkali lipat. Terjebak di negara panas ini. Berurusan dengan seorang gadis yang bahkan tidak kita ketahui namanya. Bahkan, barang mahal milikmu ada di tangannya. Aiisshh…” Junsu mengacak-ngacak rambutnya frustasi.

Aku melirik ke arah Yoochun yang tampak tenang. Tidak ada kekhawatiran yang berarti di matanya. Padahal, dia sangat menyayangi iPhone nya itu. Hanya ada satu barang yang tidak boleh kami pinjam darinya. Sedangkan barang lain, mungkin dia akan senang hati memberikannya dengan Cuma-Cuma walaupun hanya sebagai mainan. Sedangkan keadaan sekarang seharusnya memberikan alasan yang cukup kuat untuk membuat Yoochun lebih frustasi daripada Junsu. Paling tidak, dia seharusnya mengabsen penghuni kebun binatang pada gadis yang fenomenal ini. Ah, aku menepis pikiran itu. Mungkin aku akan membunuhnya jika dia benar-benar melakukan itu.
“Jaejoong hyung, kenapa dari tadi kau diam saja? Bukankah seharusnya amarah mu lebih daripada aku? Kejadian ini hampir membatalkan schedule kita. Sekarang, kita harus mengambil kembali iPhone itu. Aissh, apa hanya aku yang waras disini?” Lamunanku terhenti lagi. Aku menghentikan pandanganku ke arah jendela mobil dan menoleh pada Junsu. Bisa ku lihat mukanya memerah pertanda dia sudah tidak tahan lagi.
“Daripada mengomel sepertimu, lebih baik kita mengambil kembali iPhone itu.” Aku tidak bisa menahan senyum miring ku saat ide gila ini terlintas. Menjalankannya mungkin sama saja dengan bunuh diri. Tapi, ku rasa aku benar-benar akan mati jika tidak bertemu dengan gadis ini.
“Caranya?” Yoochun bertanya dengan nada penasaran yang tidak bisa disembuyikan.
“Kita suruh dia ke kamar kita.”
“MWO??!!!” Ini suara Junsu.
“KAU SUDAH GILA YA?!!” Ini suara Yoochun. Lebih terdengar panik daripada terkejut.
“Krucuk…..” Sepertinya ini suara perut ku yang sudah kelaparan.
Dyland POV
Bus travel berhenti tepat di area parkir hotel yang akan kami tinggali selama 1 minggu ke depan, Red Wine. Sesuai namanya, hotel Red Wine ini benar-benar berkelas seperti yang biasa terlihat di film-film Hollywood atau Asia bergensi. Karena itu hotel ini pantas memegang predikat hotel bintang 5. Sekali lagi, aku merasa takdir benar-benar melimpahkan rahmatnya untukku.
“Mbak Dyland, kamar Mbak nomor 503 ya. Nanti tinggal minta sama resepsionis hotel. Kami masih ada urusan.” Seorang perempuan pertengahan 30 berbicara padaku dengan logat khas Jawa. Seingatku, dialah yang menjemputku di bandara tadi. Kalau tidak salah, Om ku berkata dia juga yang memegang jabatan sebagai ketua tur disini.
“Iya Mbak. Makasih.” Sahutku sambil berdiri dan melemaskan ototku yang pegal karena perjalanan tadi. Anehnya, aku baru merasa capek saat tulang-tulang ku berderak tanda kekakuan akut. Tentu saja, perjalanan yang panjang ku lalui dengan beribu skenario di otakku. Aku masih mereka-reka bagaimana nanti jika aku harus bertemu dengan member JYJ yang lain. Dengan Yoochun saja aku sudah mau pingsan, apalagi bertemu Jaejoong? Mungkin aku butuh imunisasi jiwa secepatnya.
Aku mengambil tas yang tadi ku letakkan di bagasi atas tempat dudukku dan berjalan ke arah pintu bus. Udara panas menyergap dengan ganas. Aku yang masih memakai jaket kulit dan topi otomatis langsung kegerahan. Belum lagi aku harus menyeret koper jumbo ke kamarku. Oh, tidak!!
Tiba-tiba, seorang belboy mengambil tas ku dengan senyum sopan ala prajurit kerajaan. Tentu saja, bukankah ini hotel bintang lima? Hal yang lumrah jika ada bellboy macam begini.
“Saya ngambil kunci kamar dulu ya.” Aku menuju ke arah resepsionis hotel. Waduh, aku serasa kalah pamor sesampainya aku disana. Sepertinya, resepsionisnya menyediakan waktu 2 jam hanya untuk memoles penampilannya. Sedangkan aku dijamin kucel seakan baru saja keluar dari kandang singa.
“Mbak, ada pesanan kamar atas nama Dylandia Elfyza?”
“Tunggu sebentar ya.”
Setelah beberapa menit, resepsionis itu memberikan sebuah kartu untukku. Syukurlah kegaptekanku masih dalam tahap wajar sehingga tidak membuatku bertanya untuk apa kartu ini.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 
“Hoaahhmmmm…” Aku menguap lebar. Pemandangan kota Jakarta dari lantai 5 tempatku berdiri sekarang benar-benar penuh dengan polusi. Ah, pikiranku yang lelah malah bertambah lelah. Aku melihat jam yang tergantung di atas meja rias. Baru 15 menit yang lalu aku tiba disini. Tapi aku sudah tak sabar menunggu iPhone Yoochun berdering. Harapanku dikabulkan beberapa detik kemudian…
“Ayyy girl. Tried..” Aku meloncat ke atas tempat tidur tempat iPhone itu menjerit dengan nyaring. Ku tekan tombol hijau dan…….suara itu benar-benar terdengar seperti oase untukku.
“Bisakah kau datang ke hotel kami? Umm… untuk mengembalikan iPhone itu..” Suara Jaejoong terbata. Bagaimana ekspresi mukanya? Ah… pasti seimut kelinci…
“Oh, tentu saja. Aku akan segera kesana.” Sepertinya aku menjawab terlalu cepat dan terlalu antusias. Hey, jangan salahkan aku. Jika kalian berbicara dengan seseorang yang ketampanannya mampu membuat Cleopatra berpaling dari Anthony, apa kalian hanya membalas sekadarnya?
“Kami ada di kamar 603.” What? Tingkat keberuntunganku melebihi kadar overdosis. Mereka.. ada di atas ku??!
“Oke. Tunggu 5 menit.” Cetus ku tiba-tiba. Dasar mulut bocor, apa aku tidak bisa mengontrol antusiasme sedikit saja. Mereka pasti curiga jika aku satu hotel dengan mereka. Terlalu kebetulan dan dibuat-buat. Apalagi, setahuku mereka masih trauma dengan masa lalu. Bagaimana aku tahu? Pertanyaan bodoh. Tentu saja dengan pikiran abnormal ku ini. Masa lalu macam apa? Terlalu cepat jika aku harus menyimpulkan sekarang.
“5 menit? Cepat sekali.” Jaejoong berkomentar dengan nada heran.
Sial, aku harus mencari alasan masuk akal. Otakku berputar. “Umm.. Maksud ku 5 menit lagi aku akan berangkat.”
“Oh, begitu. Baiklah. Hati-hati ya.” Klik. Telepon ditutup.
Tadi…. Jaejoong berkata padaku untuk… hati-hati.. Hah?? Oh Tuhan. Sepertinya hatiku akan meledak. Suaranya lembut sekali. Kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya… apa itu akan menggagalkan misi ini?

Ting! Lift berdenting pertanda aku sudah sampai di tujuan. Lantai 6. Aku memandang pintu yang berjejer di kanan kiri lorong. 609,608,607…. Tunggu, kira-kira 5 meter dari tempat berdiriku sekarang, aku melihat 2 pria berbadan besar dengan jas hitam ala bodyguard mafia menjaga sebuah pintu. Jangan-jangan itu kamar mereka.
Dengan tergesa aku berjalan ke arah mereka. Namun, tiba-tiba aku teringat satu hal yang amat penting. Aku menepuk kepalaku gemas. “Bodoh. Apa yang akan kau lakukan jika sudah sampai disana. Say hi pada penjaga-penjaga neraka itu? Aissh, yang ada kau akan ditendang kembali ke rumahmu. Aduh, gimana nih?”
Oh, tentu saja. iPhone. Aku mengambil iPhone Yoochun dari saku jaketku. Semoga sistem kerja iPhone tidak jauh beda dengan Samsung. Diam-diam aku berdoa. Aku memencet tombol hijau. Nah, benar kan. Nama Jaejoong terpampang di layar. Aku menekan tombol hijau sekali lagi.
“Halo. Kamu sudah sampai?” Tanpa basa-basi Jaejoong bertanya padaku. Benarkah memang ada rasa perhatian disana?
“Umm.. Iya. Aku sudah sampai. Bis….” Belum selesai aku bicara, Jaejoong langsung menyambar.
“Aku akan keluar sekarang.” Klik. Telepon ditutup lagi. Tanpa persetujuan dariku.
Aku memandang kosong ke depan. Countdown detik-detik berlangsung di kepalaku. Beberapa saat lagi, aku benar-benar akan menemuinya. Glek. Aku menelan ludah. Lalu…. Pintu kamar 603 tempat bodyguar ditu berjaga, tiba-tiba saja terbuka…..
Kakiku tiba-tiba lemas dan tak mampu menahan bobot tubuhku. Langkahnya yang tertuju ke arahku terekam dalam gerakan slow motion. Dia…. Tersenyum. Jaejoong memakai t-shirt v-neck berwarna putih tanpa lengan. Aku tidak sempat melihat celana apa yang dia pakai. Aku lebih tertarik pada wajahnya. Yang sedang tersenyum ke arahku. Oh Tuhan. Aku benar-benar bertemu dengannya. Kim Jaejoong. Aku benar-benar butuh oksigen sekarang..
Jaejoong hanya berjarak setengah meter dariku sekarang. Aku tidak berani membayangkan bagaimana ekspresiku. Apalagi wajahku. Mungkin berkali lipat lebih mengenaskan daripada tadi.
“Hai….” Jaejoong melambaikan sebelah tangannya padaku. Senyum nya juga terlihat kikuk dan canggung. Ah, aku tidak peduli. Tersenyum dengan gaya monyet pun dia masih terlihat seperti pangeran.
“Kamu bawa iPhone Yoochun?”
“Hah? Oh, iya, hehe.” Aku merutuk diriku sendiri. Mengapa di depan Yoochun aku bisa santai, dan di depan Jaejoong seakan keadaanya berbalik 360 derajat. Aku merasa….. berdebar.
“Kalo gitu…..” Tiba-tiba mata Jaejoong yang awalnya menatapku dengan pandangan ……….. terbelalak pada sesuatu di belakangku. Aku segera berbalik dan melihat….. oh tidak.. ada seseorang disana. Apa yang harus ku lakukan? Tentu saja Jaejoong akan segera kembali ke kamarnya dan meninggalkanku. Kepanikanku bertambah saat… Jaejoong menarik tanganku menuju… ke kamar 603! Benar sekali saudara-saudara, dia memegang tanganku. Menarikku. Dan berkata. “Ikut aku!” Bukan dengan nada tergesa atau kesal. Melainkan dengan nada yang membuatku terlena… Apa aku hanya mengkhayalkan kejadian ini?
“Maaf aku harus membawamu kesini. Ku pikir, ehem, lebih enak kalau kita mengobol di dalam.”Aku meringis begitu Jaejoong menyelesaikan perkataannya. Mereka memang tidak tahu kalau aku juga seorang Cassie. Mereka bahkan belum tahu namaku. Ku pikir, Jaejoong merasa bahaya jika ada orang yang melihat kami. Untuk ukuran boyband yang sudah masuk dalam majalah Billboard Amerika, mereka memang cukup dikenal. Mungkin sangat dikenal. Aku harus membuat seolah-oleh aku tidak mengenal mereka. Ya, biarkan sajalah mereka menganggap aku tidak kenal dunia luar. Daripada misiku gagal?
Tapi, Jaejoong merasa bahaya? Bahaya katanya? Mereka pasti tidak benar-benar tahu seberapa bahaya seorang Cassie sampai mereka bertemu denganku. Bahaya macam apa lagi yang kau cari ketika kau tahu pikiranmu sudah dimasuki oleh orang asing?
Jaejoong memandangku. Oh Tuhan. Sepertinya setelah aku kembali ke kamarku, aku akan kecanduan tatapan itu…. Jengah, aku segera memalingkan pandanganku.
Aku melihat berkeliling. Kamar ini tentunya lebih luas dari kamarku. Dengan ruang tamu dan ada 3 buah kamar lagi menghadap pintu masuk. Sebuah TV flat menayangkan kartun Spongebob. Biasanya, aku langsung mandek di depan TV kalo sudah bertemu dengan spons kuning yang satu ini, tapi sekarang mood itu sudah hilang entah kemana. Tiba-tiba, kamar paling ujung sebelah kiri terbuka dan keluarlah Yoochun hanya mengenakan…. Handuk??!!! Wakkss. Aku melotot selebar-lebarnya. Maksudnya untuk menyimpan pemandangan di depanku ini sebaik-baiknya. Yoochun mempunyai abs. Oh Tuhan. Aku tidak berani membandingkannya dengan milik Jaejoong.
Gilanya lagi, begitu Yoochun melihatku, tidak tampak raut terkejut ataupun shock, dia malah tersenyum dan berjalan ke arahku. Aku bisa mencium wangi sabun dari tubuhnya. Glek. Entah sudah berapa liter ludah yang sudah ku teguk sejak aku tiba disini. Hari ini…. Sungguh sangat melelahkan.
“Hai. Maaf ya sudah bikin kamu repot.” Yoochun tersenyum.
Aku mengangguk tenang. Walaupun penampilan Yoochun lebih wow daripada Jaejoong, aku masih merasa nyaman di dekatnya. Tapi, akumulasi perasaan antara Jaejoong dan Yoochun amat membuatku kegerahan. Jaejoong ada di samping ku masih dengan tatapan mautnya. Yoochun ada di depanku masih dengan tatapan lembutnya. Itu berarti aku ada di tengah-tengah mereka. Wow.
Aku pasti hanya bermimpi.
“Ayyy girl. Tried to make u my baby. Instead u make me go crazy.” Kami bertiga tersentak dari atmosfer aneh ini. Tanpa basa-basi aku segera menyerahkan iPhone yang ternyata masih dalam genggamanku. Yoochun melihat nama yang tertera di layar, mukanya tiba-tiba mengeras.
Oh, tidak. Ini terjadi lagi. Pikiranku yang awalnya stabil-stabil kini mulai bergejolak. Bisa ku rasakan gelombang asing merambati alam bawah sadarku. Tidak, gelombang ini tidak asing. Tapi juga bukan milik Jaejoong atau Yoochun. Pikiran ini…. Ah, tubuhku mulai menggigil. Aku pasti melupakan tahap meditasi. Tahap yang seharusnya sangat penting dalam proses pembacaan pikiran. Jika tidak, tubuhmu tidak akan kuat menahan beban yang dipikul oleh otakmu. Bagaimana bisa aku mengingat meditasi jika tadi jantung ku sibuk berdetak tanpa ritme, ha?!
Tidak, aku tidak boleh membiarkan pikiranku terhenti. Terus ku gali memori ini. Nafasku mulai setengah-setengah. Aku tidak tahu aku sudah pingsan atau hanya tergelatak lemas di lantai. Yang ku rasakan hanya… gaung kemarahan dan kesakitan dalam kepalaku. Gaung yang dikirimkan oleh dua pikiran berbeda. Parahnya, gelombang ini sama-sama mengirimkan kemarahan yang membara.
Aku mengenali gelombang pertama yang datang. Milik Yoochun. Tapi, yang satunya….. “Ahhh!!” Aku memegangi kepalaku. Aku tidak peduli. Ku paksa otakku untuk terus mencari pemilik gelombang yang sebenarnya ku kenal ini.
“Yunho hyung!!” Teriakan Yoochun mengoyak konsentrasi ku. Tapi, Yunho? Pikiran ini milik Yunho??!
Berarti, tadi Yunho lah yang menelpon Yoochun. Untuk apa? Paling tidak, satu beban pikiranku sudah berkurang. Aku kembali memfokuskan diri pada apa yang mereka bicarakan. Namun, yang tertangkap oleh ku hanya marah, kecewa, dendam, sedih, berbagai emosi negative tumpah ruah di kepalaku.
Pada saat seperti inilah, aku sangat ingin menjadi manusia normal pada umumnya.
Aku mengerahkan segala kekuatan yang masih tersisa di tubuhku. Ku masuki pikiran Yoochun dengan perlahan. Tentu saja dia tidak sadar. Ibaratkan saja aku adalah seorang maling yang memasuki suatu rumah dengan jubah Harry Potter, tidak ketahuan, kan?
Gelombang kemarahan yang awalnya hanya ada dalam pikiranku itu bertambah kuat. Hampir merasukiku. Ku kuatkan kembali pikiranku dengan benteng-benteng seperti yang diajari Nenek Rose. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya saat kau benar-benar berada dalam sebuah pikiran. Tidak hanya merasakannya. Rasanya…. Seperti memasuki sebuah pasar. Penuh dan gaduh. Kau tidak bisa hanya menjadi penonton. Kau juga harus ambil bagian dalam drama itu. Ya, inilah yang ku lakukan sekarang. Berpikir bersama Yoochun.
Aku kirimkan energy positif yang ku punya. Sebanyak-banyaknya. Ku kirimkan potongan-potongan gambar saat TVXQ masih bersama. Ku netralisir kemarahan yang ada dalam dirinya. Ku bisikkan ribuan kata yang hanya bisa dikenali oleh kami berdua. Yang hanya dikenal oleh alam bawah sadar Yoochun.
Aku mulai kehabisan tenaga. Sangat sulit berkonsentrasi pada satu pikiran saat pikiran lainnya juga menuntut untuk diperhatikan. Pikiran siapa lagi kalau bukan Yunho?
Aku masih tidak berani memasuki pikiran Yunho. Kenapa? Karena ku pikir aku belum terlalu mengenali pikirannya. Bisa saja pikirannya lebih kompleks dari Jaejoong atau Yoochun. Dan ini berarti bencana untukku. Kemampuanku masih belum expert untuk mengenali kelima orang yang harus ku selamatkan. Jangan tanya lagi mengapa aku harus menyelamatkan mereka.
Lalu…….. perlahan, pikiran Yoochun mengendur. Tidak ada lagi gurat kemarahan di neutron dan syaraf-syaraf pikirannya. Aku pikir, metode yang ku jalankan tadi cukup berhasil. Sebagai penutup, ku tinggalkan jejak disana.
“Yoochun-ah.Tinggal beberapa langkah lagi. Dan kau akan menemui kami…..”
Setelah aku membisikkan bahasa itu, samar-samar ku dengar Yoochun berkata. “Sudahlah, hyung. Mungkin kita harus menjalani hidup masing-masing dulu.” Aku tersenyum sebelum kegelapan mengambil alih duniaku…..
(to be continued)