Fairy Tale At Night

Fairy is flying around the world. Spread the pixie dust to all children and human. Make them believe to miracle and to love. At night, all fairies wake up from their long hibernation. Only to whisper to the creatures, that music and love, are two things which make ur life's going better... That fairy... is me... ^^


Dyland POV
Kegelapan ini pekat terasa. Mematikan syaraf-syaraf ku yang biasanya awas dan terjaga. Pikiranku bergerak dalam kecepatan satuan terkecil. Aku tidak tahu aku masih bernafas atau tidak. Aku tidak bisa membedakan yang mana realitas dan yang mana khayalan. Namun, yang terlihat seperti realita dengan jelas adalah ruang hitam yang tengah mengurung ku kini. Ruang hitam yang terasa sangat kokoh dan menghimpit ku dengan kuat.
Aku tidak bisa lagi mengenali waktu disini. Tidak ada yang jelas. Kejelasan satu-satu nya hanya dinding jelaga di antara tubuhku yang kian meringkih. Aku tidak bisa berteriak. Seakan pita suara ku jauh tertinggal di suatu tempat di luar sana.
Aku berusaha mengingat apa yang telah terjadi beberapa saat yang lalu. Ku paksa otakku untuk bekerja. Tidak akan ku biarkan dia menyerah pada kegelapan non sense yang terasa memabukkan namun juga mematikan. Ku telusuri pikiranku yang entah kenapa terasa asing bagiku. Terlihat seperti labirin tanpa ujung dan penunjuk jalan sama sekali. Benarkah ini pikiranku?
Sungguh, rasa sakit ini semakin menjadi-jadi. Menginfeksi tiap sel-sel tubuhku. Mematikan tiap langkah ku. Aku hanya membutuhku satu teriakan, agar rasa sakit ini terbebas walau sedikit. Aku tidak tahan lagi. Ah, kegelapan ini sangat menyakitkan.
Tiba-tiba, dari kejauhan labirin yang sedang ku masuki, terlihat sosok tanpa bentuk melayang ke arahku. Mataku yang sebenarnya tidak bisa melihat apa-apa, terpaku pada sosok itu. Dia mendekat. Aku mengulurkan tangan ku yang gemetaran, meminta pertolongan, entah pada iblis atau malaikat. Aku hanya ingin dibebaskan.
Sedikit lagi... Dan, sebuah bisikian menerpa indra pendengaran ku. Suara manusiawi pertama yang ku dengar sejak ku tiba di tempat ini. Suara yang mendekatkan sekaligus menjauhkan dengan cara yang berbeda.
“Dyland, tutup matamu. Ikuti kemana hatimu ingin kau melangkah. Dengarkan suara yang ingin kau dengar. Bukan suara yang mereka ingin kau dengar. Jangan biarkan mereka mematikanmu. Ingat, kau masih punya urusan di relita di luar sana…….” Suara yanng ku yakin sangat ku kenal. Tapi aku sudah terlalu lelah untuk mengingat. Namun ku enyahkan jauh-jauh lelah itu agar aku bisa melaksanakan instruksi darinya.
Sosok itu perlahan tidak ku rasakan lagi keberadaannya di samping tubuhku yang kini meringkuk. Anehnya, aku tidak merasa kehilangan. Aku merasa… sosok itu memasuki diriku. Menuntun ku agar aku tidak jatuh lagi. Perlahan tapi pasti, aku menegakkan tubuhku yang tadinya lunglai tanpa tulang. Aku menumpukan bobot tubuhku pada dinding labirin ini. Ku dengarkan suara hatiku yang tadinya tertutup oleh kepanikanku. Ku bersihkan indra pendengaranku dari suara-suara aneh yang sebenarnya malah membuat keadaan memburuk. Aku menarik nafas dalam-dalam. Nafas tenang pertama yang berhasil ku lakukan. Aku menarik nafas lagi. Kali ini dengan konsentrasi tinggi. Ku tutup kedua mataku.
Lalu, entah darimana datangnya, memori terakhir yang terekam sebelum aku tiba disini memenuhi rongga otakku. Hampir aku jatuh lagi kalau saja aku tidak kembali mengingat bahwa aku harus keluar dari sini. Memori terakhir tadi berganti dengan intruksi lain, intruksi.. Nenek Rose? Aku kembali mengingat jati diriku. Bukan aku yang tadinya hanya tahanan di ruang gelap itu.
Ya, aku adalah Dylandia Elfyza. Gadis remaja yang tadinya normal. Mempunyai orang tua dan teman bernama Jingga. Kehidupan normal yang tercerabut dariku begitu kekuatanku mengambil alih. Kekuatan membaca pikiran. Nenek Rose adalah mentor ku agar aku bisa mengendalikan diri tiap kekuatan ini kumat. Dan satu lagi, aku masih dalam misi menyelamatkan 3 dan/atau 2 orang. JYJ dan/atau TVXQ. Boyband jebolan SM Entertaiment. Yang entah kenapa ku pikir ada sebuah misteri yang tak terbaca dari agensi tersebut. Aku berada di Jakarta. Dalam rangka misi penyelamatan pertama, menonton konser JYJ yang ternyata berubah menjadi bertemu JYJ. Ya, aku bertemu JYJ. Dan aku berani bertaruh saat ini aku berada di kamar hotel mereka setelah insiden telepon Yunho.
Aku tersenyum puas. Aku menatap labirin di depan ku yang sekarang terasa akrab. Dengan langkah pasti, aku melangkah. Hanya beberapa belokan kemudian, aku menemukan pintu itu. Kali ini senyum ku berubah menjadi seringai kemenangan. Satu pertandingan melawan kegelapan mampu ku lewatkan dengan kemenangan di pihakku.
Aku memutar kenop pinu itu. Jutaan partikel cahaya langsung menyambut pupil mataku….
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jaejoong POV
Jarum jam di atas ranjang ku yang kini ditempati olehnya menunjukkan angka 6, yang artinya sudah 3 jam dia pingsan. Yang juga berarti sudah 2 jam yang lalu Yoochun dan Junsu pergi untuk keperluan interview media lokal. Tadi sempat terjadi percekcokan antara aku dan Yoochun, siapa yang harus menjaga gadis ini. Junsu yang memang dari awal ilfill dan bahkan terkesan tidak mau berurusan, langsung menyediakan alternatif teraman, meninggalkan gadis itu di dalam lift. Sarannya langsung mendapat jitakan dari ku dan pelototan tajam dari Yoochun. Mungkin memang ada yang mengikat kami bertiga, Yoochun, gadis itu, dan aku.
Akhirnya, perdebatan yang seakan tiada akhirnya itu ditutp dengan pertaruhan gunting batu kertas. Siapa yang menang, itulah yang akan menjaga gadis ini. Dan keajaiban terjadi. Yoochun yang biasanya selalu menang kali ini malah kalah. Kemenangan berakhir di pihakku. Maka, disinilah aku sekarang. Duduk di samping ranjang tempat gadis itu berbaring dengan tenang.
3 jam yang lalu, gadis itu tiba-tiba pingsan. Anehnya, peristiwa itu terjadi bersamaan dengan hubungan telepon dari Yunho untuk Yoochun. Masih ada keanehan lain. Aku yang tadinya memang berdiri di samping gadis itu, bisa melihat dengan jelas butir-butir keringat yang bergulir di keningnya seiring dengan intensitas kemarahan Yoochun pada Yunho. Seakan kemarahan itu turut menyulut emosi tersembunyi dari gadis ini. Aku semakin terperangah saat dia menutup matanya kuat-kuat seakan baru dipaksa untuk meminum racun. Ekspresinya memang sama seperti itu. Tangannya mengepal. Seolah melawan kekuatan tak kasat mata yang berusaha menjatuhkannya.
Aku masih ingat dengan jelas teriakan kesakitannya beberapa saat kemudian. Lirih namun mengiris hati siapapun yang mendengarnya. Mungkin, aku terlalu peka. Tapi, sakit dalam suara itu jelas terasa. Aku merasa terhubung dengannya. Aku ingin menolongnya, namun hanya dalam hitungan sepersekian detik kemudian, aku tahu bahwa dia harus dibiarkan seperti ini. Kenapa begitu? Kali ini akal sehat ku mengajukan hipotesis yang sama sekali tidak ku mengerti.
Yoochun tentu saja tidak menyadari apa yang tengah terjadi tadi pada gadis itu. Dia membelakangi kami, walau raut muka nya tidak bisa ku lihat, aku tahu dia sangat marah dari nada suaranya yang kian meninggi.
Di luar dugaanku (dugaannya ada 3, Yoochun akan membanting iPhone keramat itu, atau Yoochun akan memaki Yunho dengan kata-kata paling kasar, atau kedua-duanya), suara Yoochun perlahan melembut dan bisa ku lihat bahunya yang awalnya tegang menjadi rileks. Seiring dengan suara Yoochun yang melembut, tubuh gadis itu perlahan jatuh ke lantai! Aku berani bertaruh dia akan mengalami geger otak kalau saja tidak ku tangkap tubuhnya.
Gadis yang baru saja mengguncangkan hari pertama kami tiba di Jakarta ini, sekarang tengah terlelap dengan damai dalam tidurnya (atau pingsannya?). Aku menelusuri lekuk wajahnya. Manis. Aku tersenyum kecil. Setiap wanita pasti terlihat seperti malaikat jika sedang tidur. Tapi gadis ini berbeda. Entah apa perbedaannya. Aku merasa nyaman walau hanya menatap wajahnya.
Tiba-tiba, matanya terbuka dengan amat perlahan. Aku terkejut dan hanya bisa mematung di tempat. Dia mengerjap dan memandang sekeliling dengan bingung. Oh Tuhan, dia imut sekali!
“Dimana aku?”
Aku, sekali lagi, hanya di depan gadis ini, menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Kamu lupa?” Pertanyaannya ku jawab lagi dengan pertanyaan. Apa lagi yang lebih bodoh dari itu, ha?!
“Tadi…… aku pingsan?” Dia terdiam sejenak, mungkin mengingat apa saja yang barusan terjadi. Matanya menunduk ke bawah tanpa fokus yang jelas. Aku gatal ingin memegang dagunya dan menyuruhnya hanya memandangku saja.
Aku tersenyum menenangkan. Senyum yang biasanya mampu membuat hati penggemarku terbang sampai ke langit ke tujuh. Aku penasaran, apa dia juga termasuk penggemar ku itu.
“Iya. Terus aku gendong kamu kesini. Is it okay?” Aku menyelipkan beberapa kalimat perhatian.
“Oh. Maaf ya aku udah ngerepotin kalian. Tadi, umm.. aku tiba-tiba aja pusing.” Dia meringis. Aku kebingungan. Gadis ini……tidak tertarik padaku? Dengan senyum paling maut tadi, dia masih saja bisa tersenyum santai begitu?! Hah?! Untuk pertama kalinya dalam karier ku sebagai artis, aku sangat penasaran untuk membuat gadis ini takluk.
“It’s okay. Take it easy.” Aku makin gencar menaklukannya dengan senyum ku. Tapi, ku lihat dia masih lempeng aja tuh.
“Oh, nama kamu siapa? Kamu belum nyebutin siapa nama kamu.” Aku menatapnya tepat di mata. Berharap dia menjauhi mataku tanda salah tingkah.
Dan…… dia balas memandangku! Lebih tajam dan berani! Sepertinya, aku yang mati kutu saat ini.
“Aku Dyland. Umm, temen kamu tadi namanya siapa?” Dia tersenyum dengan polos dan innocent. Aku hampir ingin mencekiknya karena kebutaannya itu. Dia menanyakan Yoochun! Bukannya aku yang menjaganya dari 3 jam tadi?! Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus menunjukkan siapa bosnya.
“Dia Yoochun. Sebenarnyas masih ada satu teman kami lagi, Junsu. Tapi kau belum bertemu dengannya.”
“Ooo. Aku hampir lupa. Ur name?” Sepertinya gadis ini sengaja membuatku meradang dengan “kehampirlupaannya” itu. Dia hampir lupa padaku? Yang kini jelas-jelas berada di depan matanya?!
“Aku Jaejoong. Kim Jaejooong. Tapi, kau bisa memanggilku Hero jika kau mau.” Dengan sengaja, aku memberitahukannya nama panggungku yang dulu pernah ku gunakan. Namun telah ku lupakan setelah aku memisahkan diri dari TVXQ dan berhenti menjadi budak SM Entertaiment. Saking penasarannya aku dengan gadis ini, Dyland, sampai-sampai aku meberinya clue tentang siapa aku sebearnya. Artis yang seharusnya dipuja-puja.
Dia tampak menahan geli. “Hah? Hero? Lucu sekali. Seperti nama khayalan anak-anak. Hehehe.” Apa?! Dia terkekeh? Kurang ajar! Aku mulai meragukan dia berasal dari Planet Bumi, pengetahuan umumnya mengenai artis papan atas benar-benar di bawah standar. Minus!
“Err.. Dyland. Kamu masih pusing?” Ku putuskan melawannya dengan cara licik. Akan ku hujani dia dengan perhtianku. Dengan senyumanku. Dengan tatapan mataku. Fans ku yang hanya melihat fotoku saja sudah menyembah-nyembah, apalagi jika ku berikan semua itu secara langsung. Akan ku seret dia dalam permainan ku. Rasakan! Siapa suruh tidak mengenali ku.
“Masih pusing, sih. Tapi aku ingin bertemu dengan Yoochun. Aku masih merasa tidak enak telah membawa handphone nya.”
“Mau ku belikan makanan?” Sengaja, tubuh ku yang awanya berada dalam posisi santai, sekarang condong ke arahnya. Aku yakin, sekarang aroma nafas ku tercium dengan jelas. Blossom mint. Bahkan seorang lesbian pun akan bersujud pada ku jika mereka benar-benar mencium aroma nafasku.
Aku menatapnya dengan lembut tepat di bening coklat itu. Ku tahan posisi itu selama beberapa detik. Ah, jika saja gadis ini tidak membuat harga diriku terluka tadi, mungkin bibirnya sudah menjadi milikku. Aku benar-benar tergoda untuk memilikinya…….
“Umm…. Nggak papa?” Tidak ada gejola emosi berarti di matanya. Aku semakin bernafsu.
“Memang harus ada harganya ya?” Aku memancing.
“Hehe. Kalo ada harganya mending aku beli makanan sendiri…” Sial, gadis ini kuat juga.
“Harganya ga mahal kok.”
“Jadi, maksudmu aku harus ngelakuin sesuatu buat kamu supaya kamu mau beliin aku makanan?”
Refleks, aku mengacak rambut keriting coklatnya lembut. “Tahu apa yang harus kamu lakuin?” Aku sengaja merendahkan volume suaraku.
Dia menggeleng. Aku semakin gemas saja dibuatnya. “Dengerin aku nyanyi…”
----------------------------------------------------------------------------------
Dyland POV
Apa? Dengerin Jaejoong nyanyi? Itu sih bukan harga. Tapi berkah. Aku hampir tidak bisa menahan bibirku membentuk senyum kemenangan. Aku tau sebenarnya dari tadi Jaejoong berusaha menarik perhatianku, tapi usaha yang awalnya hanya untuk main-main itu berubah serius saat aku tidak menanggapinya. Maka, ku ciptakan sebuah situasi dimana dia merasa memegang kendali. Padahal, justru akulah supir sebenarnya. Yap, senjata makan tuan. Dia lah yang masuk dalam permainanku. Bukan sebaliknya.
Mengapa aku bisa mempermainkan Jaejoong semudah ini? Berterima kasihlah pada kekuatan pikiranku yang tumben sekali bisa diajak bermain. Aku tidak akan membuat dia mendengar apa yang ingin dia dengar dariku. Justru, aku akan membuatnya kelimpungan dan terus menerus menghujaniku dengan tatapan mesra itu. Pengontrolan diri yang sudah diajari Nenek Rose sepertinya mulai menunjukkan hasil. Bukannya teriakan gila dan histeris tiap dia menatap ku dengan senyum maupun matanya, aku malah hanya tersenyum seolah yang di depan ku ini bukanlah seorang Kim Jaejoong dengan embel-embel artis di belakangnya.
Tiba-tiba saja, Jaejoong menyambar telepon di atas meja samping tempat tidur. Badannya yang awalnya condong semakin dekat ke wajahku. Nafasnya semakin keras menerpa pipi ku. Oh Tuhan.. Jika ini mimpi, sungguh aku tak ingin bangun…
Bahkan Jaejoong tidak berusaha menjauhkan tubuhnya dari depan mukaku begitu dia berhasil meraih gagang telepon. Dia tetap menahan posisi di sana sambil sesekali melirikku dengan senyuman jahil. Mungkin, dari luar aku terlihat tidak peduli dan terkesan biasa saja. Padahal, di dalam hatiku semburan magma dan lava berpesta pora. Ledakan kembang api mengiringi tiap detik yang berlalu. Aku menatapnya lekat-lekat. Menyimpan tiap kerlingan matanya sebagai candu ku di kemudian hari.
Dalam beberapa detik yang langka itu, semuanya terasa abadi. Terlebih lagi, saat Jaejoong selesai dengan urusan telepon menelepon itu. Dia meletakkan gagang telepon kembali di tempatnya. Kali ini badannya lebih condong daripada yang kesekian kalinya tadi. Bukan saja aroma nafasnya yang ku dengar, melainkan juga hembusan nafas dan detak jantungnya.
Jaejoong terus memandangiku dengan lembut. Seakan aku adalah boneka porselen yang akan hancur hanya dengan tatapan mata yang berlebihan. Kelembutan itu menyelimutiku. Butiran takdir membuat kami terpisah dari waktu sesungguhnya. Detik-detik jarum jam terdengar seperti melodi di telinga kami.
Jaejoong mendekatkan wajahnya padaku. Detak jantung itu bertambah keras. Bersamaan dengan nafasku yang mulai tersengal dan aliran darahku yang mulai terpacu.
Persetan dengan pengendalian diri. Untuk sekali ini saja, aku ingin menjadi gadis normal. Gadis yang merasakan first kiss pertamanya. Dengan seseorang yang hampir dikenalnya. Lupakan status terkenal. Lupakan tentang kenyataan. Aku hanya ingin menikmati momen ini sebagai kenangan terindahku. Karena mungkin setelah ini, aku tidak akan bisa menikmatinya lagi….
Jaejoong hampir menyentuh hidungku. Aku memejamkan mata. Merasakan sensasi aneh ini. Seakan ada ribuan serangga berdisko di perutku. Sekarang, bukannya kembang api lagi yang terjadi di hatiku. Melainkan bom nuklir tengah meledak-ledak dengan ganasnya.
Tapi, tiba-tiba saja aku teringat satu alasan kuat kenapa aku tidak boleh melakukan ritual first kiss ini. Nenek Rose, misi, JYJ, TVXQ. Shit! Kenapa aku tidak bisa mengabaikan itu dan menjadi egois untuk kali ini saja?! Sebuah suara membalas, atau lebih tepatnya mengejekku, karena aku terlahir untuk dikutuk menjadi lilin dan terbakar bersama api……
Dengan segera, aku menahan bibir Jaejoong yang merah dan menggoda itu dengan jari telunjukku. Dia tampak sangat terkejut.
“Apa makanan yang kau maksud adalah ini?” Aku berbisik di telinganya. Berusaha terdengar se-profokatif mungkin.
Bisa ku rasakan tubuh Jaejoong menegang. Dia segera menarik tubuhnya. Matanya melihat kemana-mana tapi tidak berhenti padaku. Aku tersenyum menggoda.
Atmosfer canggung yang datangnya dari Jaejoong dan atmosfer tenang yang ku ciptakan hancur saat bel di pintu kamar 603 itu berbunyi.
“Itu pasti makanannya.” Jaejoong lebih terlihat seperti melompat daripada bangun dari tempat tidur.
Aku tertawa kecil…
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(to be continued)


0 comments:

Post a Comment