Fairy Tale At Night

Fairy is flying around the world. Spread the pixie dust to all children and human. Make them believe to miracle and to love. At night, all fairies wake up from their long hibernation. Only to whisper to the creatures, that music and love, are two things which make ur life's going better... That fairy... is me... ^^


JAEJOONG POV
Suara gadis tadi telah menghilang sejak beberapa menit yang lalu dari speaker Blackberry ku. Namun mantra yang ditujukannya padaku melalui suaranya itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan hilang. Malah bertambah kuat. Debar itu masih tersisa. Hanya dari suaranya, dia mampu membuatku seperti ini. Sepertinya, aku mengenali suaranya. Seakan ada sebuah gaung dalam kepalaku yang terus menyebut-nyebut namanya. Nama yang hanya dikenal di dunia parallel, itu yang pernah dikatakan Yoochun padaku. Ha? Gila. Sekarang aku mulai mempercayai bualannya itu. Bagus sekali.
“Jaejoong hyung, bagaimana?” Tepukan keras melemparkanku kembali ke dunia nyata. Aku berbalik dan menemukan Junsu tengah memandangku dengan tatapan khawatir. Ah! Aku baru ingat, Yoochun menghilang sejak kami sampai di pintu kedatangan tadi. Tapi, kemana perginya rasa khawatir itu? Oh, tentu saja sudah disedot habis oleh suara merdu tadi. Aku kembali linglung.
“Hey, hyung, kau tidak apa-apa?” Mata Junsu membulat. Kebiasaan yang dilakukannya saat dia tengah khawatir pada sesuatu. Apa keadaan ku begitu mengkhawatirkan?
“Hyung, bicaralah padaku….” Sekarang Junsu mulai mengguncang bahuku.
“Hah? Oh! Iya, itu. Umm.. Yoochun baik-baik saja. Dia bertemu dengan temannya tadi di bandara ini.” Susah payah aku menggali memori dari pembicaraanku dengan gadis tadi. Merangkainya menjadi kata-kata jauh lebih sulit.
“Teman? Dia punya teman di Indonesia?” Junsu semakin melotot. Ya, tentu saja. Untuk orang-orang seperti kami, mempunyai teman dari luar negeri apalagi di negeri seperti Indonesia adalah hal yang mengejutkan. Karena definisi teman menurut kami jauh berbeda. Bukan hanya teman saat kau butuh kegembiraan, namun teman saat kau juga hampir mati. Jelas saja Junsu kaget. Mungkin, dia mengira teman-teman terbaik untuk Yoochun hanyalah kami berdua. Ya, ku pikir, gadis tadi lebih dari kami berdua. Karena itu dia pantas untuk ku sebut untuk teman Yoochun. Sedangkan untukku, kata kekasih terdengar lebih menggiurkan.
Lalu, tiba-tiba saja aku lupa mengatakan satu hal penting. “Oh, satu lagi. Tadi yang menjawab telepon adalah teman Yoochun. Dia mengatakan iPhone Yoochun jatuh saat dia berlari menghindar dari para Cassie. Jadi, ku pikir aku harus mengambil kembali barang itu darinya.”
“Apa?! Yoochun itu sudah gila ya? Jadi, maksudmu dia bertemu dengan temannya itu di bandara ini? Di tempat umum? Sepenting apa sih temannya itu? Aduh… Tunggu, berarti, dimana Yoochun hyung sekarang? Jangan bilang kalau…..” Junsu tidak berani melanjutkan perkataannya. Ya, aku sudah bisa menebak apa yang ada di kepalanya.
“Temannya mengatakan, dia tidak tahu dimana Yoochun berada saat ini.” Aku meringis. Sudah terbayang di kepalaku tingkat kegusaran Junsu akan situasi yang tengah kami hadapi.
“Aiisshh…. Bagaimana ini??!!”
Tenanglah. Yoochun tidak akan kenapa-kenapa.” Aku meredam teriakan frustasi Junsu. Ya, bukankah itu memang tugasku? Menjadi kuat bahkan saat aku terseok-seok mencari pegangan? Namun, tiba-tiba saja aku tersenyum. Mungkin, aku sudah menemukan pegangan itu.

Yoochun POV
“Hhhhh…” *intinya Yoochun lagi narik nafas kecapekan habis dikejar-kejar oleh serombongan Cassie yang tergila-gila padanya.
“Gila. Sampai kapan aku harus lari tiap aku ketemu cewek yang ku suka di tempat umum kayak gini?” Aku mengomel panjang pendek di tengah-tengah asupan oksigenku yang mulai menipis. Entah aku berada dimana sekarang. Seingatku aku hanya berputar-putar di tempat yang sama dari 1 jam tadi. Ah, bandara ini begitu kecil. Sangat sedikit tempat untuk bersembunyi.
Pikiranku melayang kembali padanya. Pada senyum dan tawanya. Ah, sepertinya aku masih bisa mendengar aroma rambutnya. Tiba-tiba saja, oksigen segar mengaliri tubuhku. Aku bisa bernafas dengan normal kembali. Bukan dengan nafas setengah mati seperti binatang buruan yang tengah diincar.
“Yoochun Hyung!” Aku berbalik. Ah, Junsu benar-benar mengacaukan mimpiku tentang dia.
“Kau kemana saja?! Kami mencarimu kemana-mana. Dan, Jaejoong… Puffftt..” Aku membungkam mulutnya dengan tanganku. Dipikirnya suaranya itu sekecil suara kelinci apa? Dengan nada biasa saja suaranya sudah menggelegar, apalagi dengan intonasi tinggi macam begitu?! Aku tidak akan mengambil resiko dikejar untuk yang kedua kalinya.
“Sebaiknya kau mengomeli aku di mobil saja.”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jaejoong POV
“Mwo? iPhone ku?” Yoochun terkejut sehabis ku menceritakan iPhonenya sekarang berada di tangan gadis itu. Ya, kami semua ternyata tidak mengetahui namanya. Yoochun juga bercerita dia baru bertemu gadis itu tadi. Tapi, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dariku. Terlihat dari matanya yang berkilat dan keterkejutannya yang berlebihan. Mungkinkah dia sebenarnya bahagia?
“Bagus sekali. Sekarang kesialan kita bertambah berkali lipat. Terjebak di negara panas ini. Berurusan dengan seorang gadis yang bahkan tidak kita ketahui namanya. Bahkan, barang mahal milikmu ada di tangannya. Aiisshh…” Junsu mengacak-ngacak rambutnya frustasi.

Aku melirik ke arah Yoochun yang tampak tenang. Tidak ada kekhawatiran yang berarti di matanya. Padahal, dia sangat menyayangi iPhone nya itu. Hanya ada satu barang yang tidak boleh kami pinjam darinya. Sedangkan barang lain, mungkin dia akan senang hati memberikannya dengan Cuma-Cuma walaupun hanya sebagai mainan. Sedangkan keadaan sekarang seharusnya memberikan alasan yang cukup kuat untuk membuat Yoochun lebih frustasi daripada Junsu. Paling tidak, dia seharusnya mengabsen penghuni kebun binatang pada gadis yang fenomenal ini. Ah, aku menepis pikiran itu. Mungkin aku akan membunuhnya jika dia benar-benar melakukan itu.
“Jaejoong hyung, kenapa dari tadi kau diam saja? Bukankah seharusnya amarah mu lebih daripada aku? Kejadian ini hampir membatalkan schedule kita. Sekarang, kita harus mengambil kembali iPhone itu. Aissh, apa hanya aku yang waras disini?” Lamunanku terhenti lagi. Aku menghentikan pandanganku ke arah jendela mobil dan menoleh pada Junsu. Bisa ku lihat mukanya memerah pertanda dia sudah tidak tahan lagi.
“Daripada mengomel sepertimu, lebih baik kita mengambil kembali iPhone itu.” Aku tidak bisa menahan senyum miring ku saat ide gila ini terlintas. Menjalankannya mungkin sama saja dengan bunuh diri. Tapi, ku rasa aku benar-benar akan mati jika tidak bertemu dengan gadis ini.
“Caranya?” Yoochun bertanya dengan nada penasaran yang tidak bisa disembuyikan.
“Kita suruh dia ke kamar kita.”
“MWO??!!!” Ini suara Junsu.
“KAU SUDAH GILA YA?!!” Ini suara Yoochun. Lebih terdengar panik daripada terkejut.
“Krucuk…..” Sepertinya ini suara perut ku yang sudah kelaparan.
Dyland POV
Bus travel berhenti tepat di area parkir hotel yang akan kami tinggali selama 1 minggu ke depan, Red Wine. Sesuai namanya, hotel Red Wine ini benar-benar berkelas seperti yang biasa terlihat di film-film Hollywood atau Asia bergensi. Karena itu hotel ini pantas memegang predikat hotel bintang 5. Sekali lagi, aku merasa takdir benar-benar melimpahkan rahmatnya untukku.
“Mbak Dyland, kamar Mbak nomor 503 ya. Nanti tinggal minta sama resepsionis hotel. Kami masih ada urusan.” Seorang perempuan pertengahan 30 berbicara padaku dengan logat khas Jawa. Seingatku, dialah yang menjemputku di bandara tadi. Kalau tidak salah, Om ku berkata dia juga yang memegang jabatan sebagai ketua tur disini.
“Iya Mbak. Makasih.” Sahutku sambil berdiri dan melemaskan ototku yang pegal karena perjalanan tadi. Anehnya, aku baru merasa capek saat tulang-tulang ku berderak tanda kekakuan akut. Tentu saja, perjalanan yang panjang ku lalui dengan beribu skenario di otakku. Aku masih mereka-reka bagaimana nanti jika aku harus bertemu dengan member JYJ yang lain. Dengan Yoochun saja aku sudah mau pingsan, apalagi bertemu Jaejoong? Mungkin aku butuh imunisasi jiwa secepatnya.
Aku mengambil tas yang tadi ku letakkan di bagasi atas tempat dudukku dan berjalan ke arah pintu bus. Udara panas menyergap dengan ganas. Aku yang masih memakai jaket kulit dan topi otomatis langsung kegerahan. Belum lagi aku harus menyeret koper jumbo ke kamarku. Oh, tidak!!
Tiba-tiba, seorang belboy mengambil tas ku dengan senyum sopan ala prajurit kerajaan. Tentu saja, bukankah ini hotel bintang lima? Hal yang lumrah jika ada bellboy macam begini.
“Saya ngambil kunci kamar dulu ya.” Aku menuju ke arah resepsionis hotel. Waduh, aku serasa kalah pamor sesampainya aku disana. Sepertinya, resepsionisnya menyediakan waktu 2 jam hanya untuk memoles penampilannya. Sedangkan aku dijamin kucel seakan baru saja keluar dari kandang singa.
“Mbak, ada pesanan kamar atas nama Dylandia Elfyza?”
“Tunggu sebentar ya.”
Setelah beberapa menit, resepsionis itu memberikan sebuah kartu untukku. Syukurlah kegaptekanku masih dalam tahap wajar sehingga tidak membuatku bertanya untuk apa kartu ini.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 
“Hoaahhmmmm…” Aku menguap lebar. Pemandangan kota Jakarta dari lantai 5 tempatku berdiri sekarang benar-benar penuh dengan polusi. Ah, pikiranku yang lelah malah bertambah lelah. Aku melihat jam yang tergantung di atas meja rias. Baru 15 menit yang lalu aku tiba disini. Tapi aku sudah tak sabar menunggu iPhone Yoochun berdering. Harapanku dikabulkan beberapa detik kemudian…
“Ayyy girl. Tried..” Aku meloncat ke atas tempat tidur tempat iPhone itu menjerit dengan nyaring. Ku tekan tombol hijau dan…….suara itu benar-benar terdengar seperti oase untukku.
“Bisakah kau datang ke hotel kami? Umm… untuk mengembalikan iPhone itu..” Suara Jaejoong terbata. Bagaimana ekspresi mukanya? Ah… pasti seimut kelinci…
“Oh, tentu saja. Aku akan segera kesana.” Sepertinya aku menjawab terlalu cepat dan terlalu antusias. Hey, jangan salahkan aku. Jika kalian berbicara dengan seseorang yang ketampanannya mampu membuat Cleopatra berpaling dari Anthony, apa kalian hanya membalas sekadarnya?
“Kami ada di kamar 603.” What? Tingkat keberuntunganku melebihi kadar overdosis. Mereka.. ada di atas ku??!
“Oke. Tunggu 5 menit.” Cetus ku tiba-tiba. Dasar mulut bocor, apa aku tidak bisa mengontrol antusiasme sedikit saja. Mereka pasti curiga jika aku satu hotel dengan mereka. Terlalu kebetulan dan dibuat-buat. Apalagi, setahuku mereka masih trauma dengan masa lalu. Bagaimana aku tahu? Pertanyaan bodoh. Tentu saja dengan pikiran abnormal ku ini. Masa lalu macam apa? Terlalu cepat jika aku harus menyimpulkan sekarang.
“5 menit? Cepat sekali.” Jaejoong berkomentar dengan nada heran.
Sial, aku harus mencari alasan masuk akal. Otakku berputar. “Umm.. Maksud ku 5 menit lagi aku akan berangkat.”
“Oh, begitu. Baiklah. Hati-hati ya.” Klik. Telepon ditutup.
Tadi…. Jaejoong berkata padaku untuk… hati-hati.. Hah?? Oh Tuhan. Sepertinya hatiku akan meledak. Suaranya lembut sekali. Kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya… apa itu akan menggagalkan misi ini?

Ting! Lift berdenting pertanda aku sudah sampai di tujuan. Lantai 6. Aku memandang pintu yang berjejer di kanan kiri lorong. 609,608,607…. Tunggu, kira-kira 5 meter dari tempat berdiriku sekarang, aku melihat 2 pria berbadan besar dengan jas hitam ala bodyguard mafia menjaga sebuah pintu. Jangan-jangan itu kamar mereka.
Dengan tergesa aku berjalan ke arah mereka. Namun, tiba-tiba aku teringat satu hal yang amat penting. Aku menepuk kepalaku gemas. “Bodoh. Apa yang akan kau lakukan jika sudah sampai disana. Say hi pada penjaga-penjaga neraka itu? Aissh, yang ada kau akan ditendang kembali ke rumahmu. Aduh, gimana nih?”
Oh, tentu saja. iPhone. Aku mengambil iPhone Yoochun dari saku jaketku. Semoga sistem kerja iPhone tidak jauh beda dengan Samsung. Diam-diam aku berdoa. Aku memencet tombol hijau. Nah, benar kan. Nama Jaejoong terpampang di layar. Aku menekan tombol hijau sekali lagi.
“Halo. Kamu sudah sampai?” Tanpa basa-basi Jaejoong bertanya padaku. Benarkah memang ada rasa perhatian disana?
“Umm.. Iya. Aku sudah sampai. Bis….” Belum selesai aku bicara, Jaejoong langsung menyambar.
“Aku akan keluar sekarang.” Klik. Telepon ditutup lagi. Tanpa persetujuan dariku.
Aku memandang kosong ke depan. Countdown detik-detik berlangsung di kepalaku. Beberapa saat lagi, aku benar-benar akan menemuinya. Glek. Aku menelan ludah. Lalu…. Pintu kamar 603 tempat bodyguar ditu berjaga, tiba-tiba saja terbuka…..
Kakiku tiba-tiba lemas dan tak mampu menahan bobot tubuhku. Langkahnya yang tertuju ke arahku terekam dalam gerakan slow motion. Dia…. Tersenyum. Jaejoong memakai t-shirt v-neck berwarna putih tanpa lengan. Aku tidak sempat melihat celana apa yang dia pakai. Aku lebih tertarik pada wajahnya. Yang sedang tersenyum ke arahku. Oh Tuhan. Aku benar-benar bertemu dengannya. Kim Jaejoong. Aku benar-benar butuh oksigen sekarang..
Jaejoong hanya berjarak setengah meter dariku sekarang. Aku tidak berani membayangkan bagaimana ekspresiku. Apalagi wajahku. Mungkin berkali lipat lebih mengenaskan daripada tadi.
“Hai….” Jaejoong melambaikan sebelah tangannya padaku. Senyum nya juga terlihat kikuk dan canggung. Ah, aku tidak peduli. Tersenyum dengan gaya monyet pun dia masih terlihat seperti pangeran.
“Kamu bawa iPhone Yoochun?”
“Hah? Oh, iya, hehe.” Aku merutuk diriku sendiri. Mengapa di depan Yoochun aku bisa santai, dan di depan Jaejoong seakan keadaanya berbalik 360 derajat. Aku merasa….. berdebar.
“Kalo gitu…..” Tiba-tiba mata Jaejoong yang awalnya menatapku dengan pandangan ……….. terbelalak pada sesuatu di belakangku. Aku segera berbalik dan melihat….. oh tidak.. ada seseorang disana. Apa yang harus ku lakukan? Tentu saja Jaejoong akan segera kembali ke kamarnya dan meninggalkanku. Kepanikanku bertambah saat… Jaejoong menarik tanganku menuju… ke kamar 603! Benar sekali saudara-saudara, dia memegang tanganku. Menarikku. Dan berkata. “Ikut aku!” Bukan dengan nada tergesa atau kesal. Melainkan dengan nada yang membuatku terlena… Apa aku hanya mengkhayalkan kejadian ini?
“Maaf aku harus membawamu kesini. Ku pikir, ehem, lebih enak kalau kita mengobol di dalam.”Aku meringis begitu Jaejoong menyelesaikan perkataannya. Mereka memang tidak tahu kalau aku juga seorang Cassie. Mereka bahkan belum tahu namaku. Ku pikir, Jaejoong merasa bahaya jika ada orang yang melihat kami. Untuk ukuran boyband yang sudah masuk dalam majalah Billboard Amerika, mereka memang cukup dikenal. Mungkin sangat dikenal. Aku harus membuat seolah-oleh aku tidak mengenal mereka. Ya, biarkan sajalah mereka menganggap aku tidak kenal dunia luar. Daripada misiku gagal?
Tapi, Jaejoong merasa bahaya? Bahaya katanya? Mereka pasti tidak benar-benar tahu seberapa bahaya seorang Cassie sampai mereka bertemu denganku. Bahaya macam apa lagi yang kau cari ketika kau tahu pikiranmu sudah dimasuki oleh orang asing?
Jaejoong memandangku. Oh Tuhan. Sepertinya setelah aku kembali ke kamarku, aku akan kecanduan tatapan itu…. Jengah, aku segera memalingkan pandanganku.
Aku melihat berkeliling. Kamar ini tentunya lebih luas dari kamarku. Dengan ruang tamu dan ada 3 buah kamar lagi menghadap pintu masuk. Sebuah TV flat menayangkan kartun Spongebob. Biasanya, aku langsung mandek di depan TV kalo sudah bertemu dengan spons kuning yang satu ini, tapi sekarang mood itu sudah hilang entah kemana. Tiba-tiba, kamar paling ujung sebelah kiri terbuka dan keluarlah Yoochun hanya mengenakan…. Handuk??!!! Wakkss. Aku melotot selebar-lebarnya. Maksudnya untuk menyimpan pemandangan di depanku ini sebaik-baiknya. Yoochun mempunyai abs. Oh Tuhan. Aku tidak berani membandingkannya dengan milik Jaejoong.
Gilanya lagi, begitu Yoochun melihatku, tidak tampak raut terkejut ataupun shock, dia malah tersenyum dan berjalan ke arahku. Aku bisa mencium wangi sabun dari tubuhnya. Glek. Entah sudah berapa liter ludah yang sudah ku teguk sejak aku tiba disini. Hari ini…. Sungguh sangat melelahkan.
“Hai. Maaf ya sudah bikin kamu repot.” Yoochun tersenyum.
Aku mengangguk tenang. Walaupun penampilan Yoochun lebih wow daripada Jaejoong, aku masih merasa nyaman di dekatnya. Tapi, akumulasi perasaan antara Jaejoong dan Yoochun amat membuatku kegerahan. Jaejoong ada di samping ku masih dengan tatapan mautnya. Yoochun ada di depanku masih dengan tatapan lembutnya. Itu berarti aku ada di tengah-tengah mereka. Wow.
Aku pasti hanya bermimpi.
“Ayyy girl. Tried to make u my baby. Instead u make me go crazy.” Kami bertiga tersentak dari atmosfer aneh ini. Tanpa basa-basi aku segera menyerahkan iPhone yang ternyata masih dalam genggamanku. Yoochun melihat nama yang tertera di layar, mukanya tiba-tiba mengeras.
Oh, tidak. Ini terjadi lagi. Pikiranku yang awalnya stabil-stabil kini mulai bergejolak. Bisa ku rasakan gelombang asing merambati alam bawah sadarku. Tidak, gelombang ini tidak asing. Tapi juga bukan milik Jaejoong atau Yoochun. Pikiran ini…. Ah, tubuhku mulai menggigil. Aku pasti melupakan tahap meditasi. Tahap yang seharusnya sangat penting dalam proses pembacaan pikiran. Jika tidak, tubuhmu tidak akan kuat menahan beban yang dipikul oleh otakmu. Bagaimana bisa aku mengingat meditasi jika tadi jantung ku sibuk berdetak tanpa ritme, ha?!
Tidak, aku tidak boleh membiarkan pikiranku terhenti. Terus ku gali memori ini. Nafasku mulai setengah-setengah. Aku tidak tahu aku sudah pingsan atau hanya tergelatak lemas di lantai. Yang ku rasakan hanya… gaung kemarahan dan kesakitan dalam kepalaku. Gaung yang dikirimkan oleh dua pikiran berbeda. Parahnya, gelombang ini sama-sama mengirimkan kemarahan yang membara.
Aku mengenali gelombang pertama yang datang. Milik Yoochun. Tapi, yang satunya….. “Ahhh!!” Aku memegangi kepalaku. Aku tidak peduli. Ku paksa otakku untuk terus mencari pemilik gelombang yang sebenarnya ku kenal ini.
“Yunho hyung!!” Teriakan Yoochun mengoyak konsentrasi ku. Tapi, Yunho? Pikiran ini milik Yunho??!
Berarti, tadi Yunho lah yang menelpon Yoochun. Untuk apa? Paling tidak, satu beban pikiranku sudah berkurang. Aku kembali memfokuskan diri pada apa yang mereka bicarakan. Namun, yang tertangkap oleh ku hanya marah, kecewa, dendam, sedih, berbagai emosi negative tumpah ruah di kepalaku.
Pada saat seperti inilah, aku sangat ingin menjadi manusia normal pada umumnya.
Aku mengerahkan segala kekuatan yang masih tersisa di tubuhku. Ku masuki pikiran Yoochun dengan perlahan. Tentu saja dia tidak sadar. Ibaratkan saja aku adalah seorang maling yang memasuki suatu rumah dengan jubah Harry Potter, tidak ketahuan, kan?
Gelombang kemarahan yang awalnya hanya ada dalam pikiranku itu bertambah kuat. Hampir merasukiku. Ku kuatkan kembali pikiranku dengan benteng-benteng seperti yang diajari Nenek Rose. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya saat kau benar-benar berada dalam sebuah pikiran. Tidak hanya merasakannya. Rasanya…. Seperti memasuki sebuah pasar. Penuh dan gaduh. Kau tidak bisa hanya menjadi penonton. Kau juga harus ambil bagian dalam drama itu. Ya, inilah yang ku lakukan sekarang. Berpikir bersama Yoochun.
Aku kirimkan energy positif yang ku punya. Sebanyak-banyaknya. Ku kirimkan potongan-potongan gambar saat TVXQ masih bersama. Ku netralisir kemarahan yang ada dalam dirinya. Ku bisikkan ribuan kata yang hanya bisa dikenali oleh kami berdua. Yang hanya dikenal oleh alam bawah sadar Yoochun.
Aku mulai kehabisan tenaga. Sangat sulit berkonsentrasi pada satu pikiran saat pikiran lainnya juga menuntut untuk diperhatikan. Pikiran siapa lagi kalau bukan Yunho?
Aku masih tidak berani memasuki pikiran Yunho. Kenapa? Karena ku pikir aku belum terlalu mengenali pikirannya. Bisa saja pikirannya lebih kompleks dari Jaejoong atau Yoochun. Dan ini berarti bencana untukku. Kemampuanku masih belum expert untuk mengenali kelima orang yang harus ku selamatkan. Jangan tanya lagi mengapa aku harus menyelamatkan mereka.
Lalu…….. perlahan, pikiran Yoochun mengendur. Tidak ada lagi gurat kemarahan di neutron dan syaraf-syaraf pikirannya. Aku pikir, metode yang ku jalankan tadi cukup berhasil. Sebagai penutup, ku tinggalkan jejak disana.
“Yoochun-ah.Tinggal beberapa langkah lagi. Dan kau akan menemui kami…..”
Setelah aku membisikkan bahasa itu, samar-samar ku dengar Yoochun berkata. “Sudahlah, hyung. Mungkin kita harus menjalani hidup masing-masing dulu.” Aku tersenyum sebelum kegelapan mengambil alih duniaku…..
(to be continued)

0 comments:

Post a Comment