Fairy Tale At Night

Fairy is flying around the world. Spread the pixie dust to all children and human. Make them believe to miracle and to love. At night, all fairies wake up from their long hibernation. Only to whisper to the creatures, that music and love, are two things which make ur life's going better... That fairy... is me... ^^


 Cast                           : JYJ (Junsu, Yoochun, Jaejoong)
 Cameo                       : Dylandia Elfyza
 Genre                       : Romance, Mystery, Tragedy
 P.S. Tolong tinggalkan jejak bagi siapapun yang sudah baca ya. Makasih. Dilanjutkan atau tidaknya fanfic ini tergantung pada respon kalian... Gomawo ^^


Jaejoong POV
Kalian punya palu? Atau traktor? Atau benda apapun yang bisa menggilas kepalaku sampai hancur? Aku benar-benar membutuhkan itu sekarang. Ah, satu lagi, aku juga sangat membutuhkan obat yang bisa membuat amnesia. Kejadian di kamar barusan membuatku serasa tidak punya muka lagi.
Pelayan yang mengantarkan makanan kami sudah pergi dari 5 menit yang lalu. Tapi aku masih tidak mempunya nyali untuk segera kembali ke kamar tempat Dyland pasti sedang tersenyum bahagia sekarang.
Bah! Aku mengepalkan tanganku. Mencari objek apa saja yang bisa ku pukul untuk melampiaskan rasa marah ini. Dia menolakku! Cuih. Dia pikir seberapa cantik sih dia? Aku bahkan bisa membeli 1000 Dyland dalam waktu satu malam.
Tapi kau tidak akan pernah menemukan ‘1000 Dyland’ itu. Karena dia termasuk cewek ajaib yang bisa membuatmu gila seperti saat ini. Hati kecilku tertawa.
Sialan. Bahkan hati kecilku tidak mau memihakku kali ini.
Aku memegang dadaku. Debar itu makin menggila. Bukannya berkurang seperti yang seharusnya. Was she just cast a spell on me? Mungkin. Teringat sejak aku bertemu dengannya hari ini tadi, aku menjadi seperti orang linglung.
Tiba-tiba, ponsel yang ada di saku ku bergetar. Aku terlonjak.
“Hallo..” Suara ku sepertinya masih belum kembali normal. Masih selirih tadi. Seakan yang tengah menelpon ku ini adalah Dyland. Damn, kenapa dia lagi sih yang ada di otakku?
“Jaejoong hyung, bagaimana dengannya? Sudah siuman?” Suara yang bernada kecemasan jelas dapat ku tangkap dari intonasi suara Yoochun.
“Oh iya. Dia sudah siuman.” Jawab ku sekadarnya. Yoochun pasti tengah mengerutkan kening di seberang sana.
“Lalu, kau sudah menanyakan namanya?”
“Dyland. Namanya Dyland.” Aku membeo.
“Dyland.. hmm.. nama yang unik.” Yoochun terdiam untuk beberapa saat. Mungkin dia sedang meresapi nama ‘Dyland’ itu di memori otaknya.
“Ah, hyung. Aku sangat khawatir dengannya. Tadi tiba-tiba saja dia pingsan. Ku rasa dia tidak terlalu sehat. Apalagi cuaca sedang panas sekali di luar walaupun ini sudah jam 6 sore. Tidak mungkin juga kalau kita antar dia pulang. Bagaimana kalau kita suruh dia istirahat dulu? Aku berani bertaruh dia tidak tahu tentang kita.” Suara Yoochun tegas dan pasti. Tapi, aku tidak ingin mengambil resiko terjebak dengannya lebih lama lagi. Bisa-bisa aku akan terkena serangan jantung.
“Hyung…..” Sepertinya aku cukup lama melamun sampai-sampai Yoochun memanggilku dengan nada mendesak.
“Oh, baiklah. Terserah kau saja.”
“Err, ku perhatikan hyung juga agak tidak sehat hari ini. Kau kebanyakan melamun. Ada masalah?” Ah, Yoochun. Selalu saja seperti ini. Dia lebih mengenalku daripada yang lain. Kecuali……. Shit, kenapa aku memikirkan orang itu lagi? Orang yang jelas-jelas mencampakkan kami hanya demi ketenaran semu yang sudah kami cicipi. Orang, yang dulu menawarkan kami persahabatan sejati dan arti keluarga sesungguhnya. Namun, dia pula lah yang mengajarkan kami arti rasa sakit dikhianati dan dibuang sia-sia.
“Oh, aku tidak apa-apa. Sudahlah, kau dan Junsu lebih baik focus dengan acara kita. Aku harus mengurus Dyland. Dia mengatakan dia masih sangat pusing tadi.”
Aku juga terlalu mengenal Yoochun. Aku yakin dia sedang tersenyum sekarang. “Baiklah. Aku pergi dulu hyung. Jangan kau buat gadis itu sebagai target ya. Dia milikku. Hehehe.” Walaupun Yoochun berbicara dengan nada canda, aku bisa menangkap dengan jelas keseriusan di sana. Ya, dialah yang pertama mengenal gadis itu. Mungkin memang benar, dialah yang berhak.
Aku tergelak. “Haha. You’re the boss. Bye.” Klik. Sambungan terputus.
Nampan berisi steak dan the hangat di meja sebelah kiriku mulai menggoda seleraku. Aku baru ingat belum makan dari tadi siang. Hmm, mungkin aku harus melupakan kejadian yang baru saja menggores harga diriku dan focus pada makanan di depanku ini. Ha! Dia kira dia saja yang bisa menggoda. Makanan ini lebih menggoda daripada dia. Paling tidak, makanan ini tidak menolak saat ku makan.
Aku kebingungan sendiri. Sekarang aku mulai berkhayal tentang makanan, bagus sekali!
Aku membawa nampan itu kembali ke kamarku. Ku tarik nafas dalam-dalam.
“Fiuh… aku tidak peduli kau secantik apa. Kau hanyalah gadis biasa. Tidak istemewa. Camkan itu!” Aku mengomel pada pintu di depanku. Seakan dia adalah Dyland yang kini tengah memandangku dengan senyum miringnya. Sial! Apa Dyland itu sejenis virus temuan baru yang bisa menginfeksi otak? Aku benar-benar tidak bisa melupakannya.
Aku membuka kenop pintu dengan tangan kiriku karena tanganku memegang nampan berisi makanan.
Lalu…. Apa di depanku ini adalah bidadari? Aku terpana dibuatnya. Ku letakkan nampan di meja samping pintu kamar. Sekarang, tanganku bebas dan aku bisa leluasa menikmati keindahan di depanku ini. Dyland tengah berdiri di depan jendela kamar kami yang menghadap langsung ke arah matahari terbenam. Cahaya jingga yang misterius itu membungkus tubuh Dyland sebagai siluet hitam. Lekuk tubuhnya jelas terlihat dari tempat ku berdiri sekarang. Saat pingsan tadi, aku melepaskan jaket dan topinya. Ternyata, di dalam jaket itu dia hanya memakai tank top merah ketat. Sepertinya dia bukan tipe cewek ribet.
Dia juga memakai hot pants denim yang membuah paha putihnya terekspos dengan jelas. Aku bukannya sekali dua kali melihat perempuan tampil terbuka. Tapi, Dyland adalah pengecualian. Jika perempuan lain terlihat murahan saat berpakaian seperti itu, Dyland justru terlihat……tidak terjangkau. Seakan dia berusaha mengintimidasi kami, kaum lelaki, hanya untuk melihat padanya. Dan itu terjadi secara alami!
Rambut nya yang coklat bergelombang terlihat seperti tiara mahal di kepalanya. Pancaran sinar matahari membuat kilau rambutnya kian bercahaya. Aku masih tidak bisa menguasai diriku. Dia sungguh eksotis.
Aku mendekatinya perlahan. Seakan dia adalah binatang buruan yang bisa pergi sewaktu-waktu. Jantungku berdebar kian kencang. Dari belakang saja dia sudah sangat menawan, apalagi tampak depan?
Much better?” Tanyaku sesantai mungkin begitu sampai di sebelahnya. Aku baru sadar sedari tadi aku menahan nafas.
Yeah. Thanks to u.” Jawabnya lalu melihat ke arahku.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Matanya yang berwarna coklat terlihat seperti mutiara bening. Bibirnya yang kemerahan terlihat seperti apel ranum. Oh Tuhan. Ku rasa, aku benar-benar jatuh cinta.
Tapi, tiba-tiba saja…otakku kosong melompong. Bukan karena Dyland. Tapi, karena sesuatu lain yang juga tidak ku mengerti. Sesuatu yang…tengah mengontrolku kini.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DYLAND POV
Masih tertinggal sisa-sisa senyum kemenangan di bibirku. Jaejoong sudah pergi sejak 10 menit lalu. Terlalu lama untuk konteks mengambil makanan yang hanya berjarak beberapa meter dari kamar ini. Pasti, dia sekarang masih mengatur perasaanya.
Aku menoleh ke samping. Baru kusadari kamar ini menghadap langsung ke langit barat. Aku menarik nafas dalam-dalam. Entah kapan terakhir kali aku menyaksikan sunset secara langsung. Tidak bisa menahan diri, aku menyingkap selimut yang menutupi tubuhku dan turun dari tempat tidur. Tunggu dulu! Kok dingin sih? Perasaan tadi aku memakai jaket deh. Aku melihat ke bawah dan terbelalak kaget. Jaket ku menghilang! Darah dari bagian tubuh ku yang lain langsung tersedot ke mukaku. Berarti.. tadi Jaejoong melepas jaket ku itu?
Aku semakin terkejut saat menyadari ternyata….. aku hanya memakai tank top merah di dalam jaket itu! Aku memang sama sekali belum mengganti baju sejak tiba disini. Tapi, ku pikir tidak akan ada yang tertarik melepas jaket ku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Ah, tentu saja alasannya jelas. Tadi aku pingsan, untuk alasan kesehatan, tentu saja Jaejoong berinisiatif melepas jaket ku.
Bodohnya aku, kenapa harus tank top? Merah lagi! Dan ya ampun, seperti nya tank top ini ku pakai dua nomor lebih kecil dari ukuran baju ku sebenarnya. Yang berarti sangat pas di badanku. Ketat. Mengundang. Jika tadi hanya darah yang tersedot ke mukaku, ku rasa urat malu ku pun sudah putus.
Seolah semua kejadian yang menjatuhkan harga diriku sebagai perempuan terhormat itu belum cukup, masih ada satu fenomena yang tidak kalah mengejutkannya. Aku hanya memakai hot pants denim yang, sungguh sangat pendek! Potongan ingatan mulai bermunculan di otakku. Karena di kamarku tadi panas sekali, ku putuskan untuk memakai hot pants saja agar lebih nyaman. Bodohnya aku, aku lupa menggantinya dengan celana yang lebih pantas. Ya, satu hal sepele namun detailnya sungguh penting jika dilupakan.
Aku menutup kedua mukaku. Membayangkan bagaimana saat Jaejoong tadi melihatku dengan keadaan seperti ini. Tapi, bukankah Jaejoong dikelilingi oleh gadis yang bahkan lebih seksi dariku tiap harinya? Lalu, apa aku membawa perbedaan berarti? Mengingat fakta ini, aku sedikit lega. Jajeoong bukanlah seorang remaja puber yang langsung horny begitu melihat perempuan memakai baju terbuka.
Tetap saja ini memalukan!
Aku membuka kedua tangan yang menutup mukaku. Lalu, aku terperangah. Semburat jingga mulai memperlihatkan keagungannya di cakrawala. Awan-awan yang biasanya berwarna kelabu itu, kini seakan diwarnai oleh paduan warna terindah yang menyegarkan mata. Sejenak, aku melupakan tanktop merah menggoda dan hot pants denim tadi.
Aku berdiri dan melangkah ke arah jendela kamar yang bening tanpa cela. Sangat indah. Matahari selalu meninggalkan kesan sebelum dia siap kembali menyinari bagian dunia yang lain. Aku terpukau oleh keindahan yang hanya bisa dilukis oleh seorang seniman dunia. Sebuah mahligai yang menggetarkan hati tiap insan yang bisa merasakan. Beribu warna bermain di retina mataku. Namun, warna-warna itu masih belum mampu mengalahkan keindahan bintang senja ini, sang matahari.
Aku mengangkat kedua tanganku dan menggeliat sebentar. Ahh, nyaman sekali rasanya. Merupakan suatu kehormatan melihat sunset di kota penuh polusi seperti Jakarta.
Much better?” Tiba-tiba, Jaejoong sudah berdiri di samping ku. Entah sejak kapan. Aku terlalu mengagumi fenomena di depanku kini. Aku tidak menangkap nada apapun dalam suaranya. Santai dan….terdengar bersahabat.
Dia lalu menoleh ke arahku, tidak ketinggalan senyum dan tatapan andalannya itu. Dadaku berdebar lagi. Lebih keras. Tidak ku sangka akan berbagi pemandangan ini bersama seorang Kim Jaejoong.
Yeah. Thanks to u.”  
Kami terdiam selama beberapa saat. Tunggu, kenapa aku tidak bisa menangkap getaran apapun? Gelombang apapun? Bukankah aku seharusnya sadar jika dia sudah masuk ke kamar ini? Rasa khawatir menyergap ku dengan tiba-tiba. Ini tidak biasa terjadi. Aku berusaha meraih pikirannya. Mustahil aku tidak bisa merasakan apapun sedangkan dia ada di depan hidungku.
1 menit…
2 menit..
3 menit..
? menit..
?? menit..
Sial, kenapa benar-benar tidak bisa. Ada yang salah disini. Kenapa? Aku merasa mati rasa….. Semakin aku berusaha, semakin aku ditolak oleh kekuatan itu lagi. Kekuatan yang…….menjatuhkanku saat Yunho menelpon Yoochun tadi. Ku kira, itu semata-mata karena rasa marah di antara keduanya. Ternyata, sebuah kekuatan mengontrol mereka supaya merasakan kemarahan itu. Dan, kekuatan itu pula yang sekarang memblokir pikiran Jaejoong dari jangakauan ku.
“Aku menyukai matahari. Sangat. Kami berlima menyukai matahari.” Jaejoong berkata padaku. Nadanya….sangat datar. Dingin. Seakan bukan dia yang bicara. Aku menajamkan pendengaranku.
“TVXQ adalah pemuja matahari. Tanpa matahari, kami merasa lemah. Tanpa cahayanya, kami berada dalam kegelapan.” Pemuja? Kenapa Jaejoong menggunakan relevansi kata pemuja? Terlalu fanatik menurut ku. Mengapa tidak…..pecinta misalnya? Pemuja… seperti sinomim dari sebuah sekte penyembahan. Tiba-tiba, tubuhku menegang. Ada yang salah disini. Insting dan firasatku berkata begitu. Nenek Rose mengatakan aku tidak boleh mengabaikan firasat yang bisa datang sewaktu-waktu.
Matahari mulai tenggelam. Warna biru gelap mulai mendominasi awan-awan yang mengantar kepergiannya. Kali ini, aku merasa takut…
“Tahukah kau, jika kita melihat matahari yang bersinar terik terlalu lama, matamu akan buta? Dan hanya kegelapan yang akhirnya kau punya?” Ragu-ragu, aku mengangguk. Nada bicara Jaejoong… seakan tidak mempunyai jiwa. Hampa.
“Matahari dan kegelapan hanya dua sisi mata uang berbeda, namun sebenarnya sama. Tanpa kegelapan, orang-orang tidak akan menyadari ada sinar terang yang menuntun jalan mereka. Tahukah kau apa yang terjadi di antara kegelapan dan matahari?” Aku menggeleng. Sepertinya, aku berubah menjadi mainan yang hanya bisa menggerakkan kepalaku saja.
“Simbiosis parasitisme.” Suaranya… sarat dengan kebencian. Dendam. Tapi, apa hubungannya matahari, kegelapan, TVXQ, JYJ, SM Entertaiment, dengan masa lalu mereka? Dan dengan misi penyelamatan yang sedang ku jalankan ini?
“Matahari mendapatkan ketenaran dan pujaan dari manusia. Sedangkan kegelapan hanya figuran, kegelapan dihujat karena ‘gelap’ nya yang dibenci. Tidak ada yang menyukai kegelapan. Tidak ada. Kegelapan tidak bisa menyembuhkan apapun.” Jaejoong meraih daguku dan memaksa mataku untuk beradu dengan manik mata hitamnya. Aku terpaku. Tidak ada yang menenangkan ku di dalamnya hitam mata itu. Sorot mata itu, sorot mata yang tidak bisa ditolak karena hipnotisnya. Ya, ku rasa dia menghipnotisku dengan matanya. Bukan hipnotis yang membuatku terlena, tapi, hipnotis yang membuatku ditelanjangi. Seakan dia tahu segalanya. Rahasiaku. Hidupku. Semuanya. Seakan… dia bisa melihat apapun melalui matanya.
Dia memajukan badannya dan berbisik di samping telingaku dengan intonasi, nada, dan tekanan terdingin sekaligus mematikan yang pernah ku dengar, “Matahari……terlalu sempurna, Dylandia Elfyza. Keajaibanmu tidak akan cukup untuk membuatnya cacat. Mereka…..adalah milikku….” Cukup sudah. Tubuhku langsung menggigil. Aku jatuh terduduk di lantai. Ah, serangan ini datang lagi. Gelap. Tapi, mengapa ada cahaya? Tapi cahaya itu…..terlalu menyilaukan. Menyakiti ku. Bukannya menunjukkanku jalan keluar.
Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhku, sangat sakit. Seakan ada ribuan jarum suntik yang ditancapkan ke pembuluh-pembuluh darahku. Menutup jalan pernafasanku.
“ARRGGHHH!” Tubuhku melengkung ke dalam. Sangat sakit. Tulangku seakan remuk. Ada apa ini? Kenapa? Aku rela memberikan apapun untuk menghentikan rasa sakit ini.
Gelap dan cahaya bergantian memenuhi syaraf-syaraf mataku. Semuanya… terlalu banyak. Terlalu sakit. Menyiksaku. Ku paksakan untuk membuka mataku. Dan…. Jaejoong yang berdiri menjulang di atasku tengah tersenyum miring dengan sorot mata licik dan dingin. Dia berbalik dan pergi.
Mataku berkabut. Jaejoong, ada apa? Kenapa?
“EERGG…HHHH!!!!!!” Aku tidak sempat berpikir apapun lagi. Rasa sakit itu datang lagi. Lebih dari sebelumnya. Sungguh, lebih baik aku mati daripada harus merasakan ini.
Belum sempat aku memulihkan rasa terkejutku oleh serangan brutal ini, sebuah mata muncul di pandanganku. Mata yang melihatku dengan ganas. Mata…yang seakan mengetahui labirin pikiranku. Rahasiaku. Semuanya. Lalu, aku merasa tubuhku dirobek dan dikoyak secara paksa……
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(to be continued)





0 comments:

Post a Comment